KedaiPena.com – Kebijakan ekspor pasir laut, yang berasal dari pengerukan sedimen, dinyatakan memiliki tujuan yang baik. Tapi tentunya dalam implementasi, perlu dilakukan pengkajian mendalam yang melibatkan para ahli di bidangnya, baik dari Teknologi Kelautan, Manajemen Pesisir, hingga Pakar Ekologi.
Peneliti Ahli Utama bidang Oseanografi Terapan dan Manajemen Pesisir, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), BRIN, Widodo Setiyo Pranowo menyatakan sesuai dengan PP 26/2023, tujuan dari pengelolaan hasil sedimentasi laut ada dua.
Yang pertama adalah untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut.
Kedua, untuk mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.
“Jadi tujuan utamanya adalah baik. Namun, untuk diimplementasikan secara teknis, agar ‘kegiatan pembersihan dan pengambilan sedimen’ tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat nelayan/pesisir di sekitar lokasi yang akan dibersihkan, maka diperlukan instrumen turunan yang detil dan applicable, yang mengatur tentang bagaimanakah perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan,” kata Widodo, Minggu (22/9/2024).
Ia menegaskan, dalam implementasinya diperlukan bantuan banyak ahli teknologi kelautan untuk mereview dan mencari teknologi pengerukan sedimen yang memiliki kemampuan untuk meminimalisir dampak kekeruhan yang terjadi pada saat pembersihan dan pengerukan sedimen di laut.
Karena, dikhawatirkan kekeruhan akan tetap terjadi di kolom air laut pada saat pembersihan dan pengambilan sedimen di laut tersebut, kemudian akan mengusir sementara waktu ikan-ikan yang hidup di lokasi tersebut.
“Nah, seberapa lama waktu kekeruhan akan terjadi tersebut, maka diperlukan simulasi pemodelan (komputasi) numerik hidrodinamika dan transport sedimen untuk memprediksikannya. Jadi dengan studi yang lengkap dan komprehensif untuk calon lokasi pembersihan dan pengambilan sedimen di laut, diharapkan dampak negatifnya bisa diketahui sejak dini sehingga bisa dilakukan rencana penanggulangan dan/atau pengelolaan dampak negatifnya agar tidak terjadi konflik lingkungan dan sosial,” paparnya.
Pengajar Prodi Hidro-Oseanografi pada Sekolah Tinggi Teknologi TNI Angkatan Laut (STTAL) menjelaskan terminologi sedimentasi berasal dari kata Sedimentation (dalam bahasa inggris) yang artinya the action or process of forming or depositing, yang jika diterjemahkan secara bebas menjadi suatu proses pembentukan atau pengendapan sedimen.
Secara teoritik, proses pembentukan dan pengendapan sedimen bisa secara biogeokimia dan/atau secara fisika, dan kecepatan pengendapan sangat tergantung dari ukuran butir sedimen tersebut. Ukuran butiran sedimen secara umum adalah mulai dari seukuran batuan bongkah besar (boulders), batuan bongkah kecil (gravels), pasir (sand), lumpur/lanau (silt), lempung (clay), hingga debu (dust).
Ukuran butir sedimen, umumnya diklasifikasikan berdasarkan Skala Wentworth. Sedimen dengan ukuran butir 100 – 250 mm (baca: milimeter), diklasifikasikan sebagai tipe ‘boulders’ atau bongkahan besar. Batu besar, adalah contoh dari sedimen ukuran ini.
Sedimen dengan ukuran butir 2 mm hingga kurang dari 250 mm, diklasifikasikan sebagai ‘gravels’ atau bongkahan kecil. Sedimen tipe ini contohnya batuan granule, pebble, cobble.
Sedimen dengan ukuran butir 0,0625 mm hingga kurang dari 2 mm diklasifikasikan sebagai ‘sand’ atau pasir. Pasir ini pun memiliki tipe: pasir sangat halus (0,0625 – 0,1249 mm), pasir halus (0,125 – 0,249 mm), pasir sedang (0,25 – 0,49 mm), pasir kasar (0,5 – 1 mm), dan pasir sangat kasar (1 – 1,9 mm).
Sedimen dengan ukuran butir 0,0039 mm hingga ukuran kurang dari 0,0625 mm diklasifikasikan sebagai ‘silt’ atau lumpur atau lanau. Lumpur atau Lanau ini memiliki tipe: lanau sangat halus (0,0039 – 0,00779 mm), lanau halus (0,0078 – 0,01559 mm), lanau sedang (0,0156 – 0,0309 mm), lanau kasar (0,031 – 0,06249 mm).
Kemudian, masih ada sedimen dengan ukuran yang lebih halus lagi daripada lanau, yakni ‘clay’ atau lempung dengan ukuran butir kurang dari 0,0039 mm, dan ‘dust’ atau debu dengan ukuran butir kurang dari 0,0005 mm.
Biota dan flora di laut apabila mati, bodinya hancur terurai, maka bisa mengendap di dasar laut, menjadi sedimen super halus (membetuk lapisan sangat sangat tipis) di permukaan dasar laut yang sering disebut sebagai ‘fluff layer sediment’. Sedimen jenis ini ukuran butirnya sangat-sangat halus, sehingga rentan teraduk/teresuspensi oleh arus di lapisan dekat permukaan dasar laut.
“Ketika menilik kembali kepada Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, pada Bab 1 Pasal 1 ayat 1 tercantum bahwa yang dimaksud hasil sedimentasi di laut adalah sedimen di laut berupa material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi, yang terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan yang dapat diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran,” kata Widodo lebih lanjut.
Sehingga, mungkin bisa diinterpretasikan, bahwa semua semua material alami mulai dari batu, pasir, lanau, dan lempung yang tersebut di dalam peraturan pemerintah tersebut yang harus diambil dan dikelola oleh pengusaha, jadi bukan hanya pasir saja.
“Karena tujuan dari peraturan pemerintah tersebut adalah membersihkan sedimentasi agar ekosistem laut menjadi lebih sehat. Sementara sebagai pengusaha, tentunya yang diinginkan adalah material sedimen pasir yang bernilai ekonomis,” ujarnya.
Ia menyatakan yang menjadi pertanyaan ilmiah selanjutnya adalah seberapa banyakkah konsentrasi pasir yang bernilai ekonomis diantara total seluruh hasil kerukan sedimen.
‘Untuk mengestimasi volume konsentrasi pasir laut diantara hasil sedimentasi di laut tersebut maka diperlukan studi kelayakan (feasibility study) berdasarkan survei dan pengukuran, di calon lokasi yang akan dibersihkan, oleh tim yang terdiri dari beberapa ahli seperti ahli geologi, ahli oseanografi, ahli hidro-geologi, ahli teknik pantai, ahli teknologi kelautan, ahli ekologi laut, ahli sosial masyarakat nelayan/pesisir, dan ahli valuasi ekonomi lingkungan,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa