KedaiPena.com – Anugrah geografi kepulauan dan 70 persen wilayah Indonesia adalah lautan, menyebabkan Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan gelombang sebagai salah satu sumber energi. Tapi tetap membutuhkan kajian komprehensif untuk memastikan kelayakan suatu titik untuk dijadikan sumber energi.
Peneliti Oseanografi Terapan dan Pesisir, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Widodo Setiyo Pranowo menyatakan secara logika Indonesia memang memiliki potensi besar menghasilkan energi baru terbarukan dari gelombang laut.
“Namun, sebelumnya harus dilakukan survei untuk mengetahui karakteristik dari gelombang tersebut. Setelah mengetahui karakter dari gelombang tersebut, kemudian dilakukan perhitungan matematis simulasi untuk menghitung seberapa energi yang bisa dihasilkan setiap harinya. Perlu juga dihitung, dalam satu tahun ada berapa hari kah, ada kondisi dimana tidak ada gelombang,” kata Widodo, Minggu (27/11/2022).
Ia menjelaskan gelombang yang dinyatakan berpotensi menghasilkan energi adalah gelombang yang dibangkitkan oleh angin dan gelombang pasang surut. Kedua gelombang tersebut memiliki mekanismenya yang berbeda dalam menggerakkan turbin pembangkit listrik.
Gelombang akibat angin, lanjutnya, ada dua yakni Gelombang Angin (Wind Waves) dan Gelombang Alun (Swell Waves).
Gelombang angin (Wind Waves) terjadi karena ada gaya seretan angin terhadap permukaan laut, apabila semakin besar gaya seretnya maka yang terseref tidak hanya permukaan lautnya saja, namun lapisan di bawah permukaan juga akan terseret. Seretan tersebut selain menghasilkan gelombang juga menghasilkan arus.
“Angin tidak selamanya akan terus-menerus bertiup, ada kalanya angin akan melemah atau menguat atau bahkan berhenti bertiup. Ketika angin berhenti bertiup maka gelombang angin (Wind Waves) akan berhenti. Namun apabila energi anginnya kencang, walaupun Gelombang Angin (Wind Waves) berhenti, namun masih ada sisa energi di bawah lapisan permukaan laut, yang terus bergerak melaju, yang kemudian bertransformasi muncul permukaan laut menjadi Gelombang Alun (Swell),” paparnya.
Sementara, Gelombang Alun (Swell) biasanya terbangkitkan oleh sumber angin yang jauh, seperti di lokasi yang menghadap samudera luas.
“Gelombang yang dibangkitkan oleh angin, ketika naik dan turun, akan menghasilkan tekanan tertentu. Tekanan inilah yang kemungkinan bisa dimanfaatkan untuk menggerakan ‘fluida kerja’ memutar turbin pembangkit energi listrik,” paparnya lebih lanjut.
Jenis gelombang lainnya, yaitu gelombang pasang surut yang dibangkitkan oleh gaya gravitasi bulan dan matahari di perairan laut Indonesia, menghasilkan ada 4 tipe pasang surut (pasut) muka laut.
“Ada yang dalam 24 jam terjadi 1 kali pasang dan 1 kali surut, disebut sebagai tipe pasut Diurnal. Ada yang dalam 24 jam terjadi 2 kali pasang dan 2 kali surut yang disebut tipe pasut semi-diurnal. Kemudian 2 tipe pasut yang lain adalah tipe pasut campuran, ada yang campuran cenderung ke diurnal, dan ada campuran yang cenderung semi-diurnal. Ketika akan memanfaatkan gelombang pasut ini untuk pembangkit energi listrik, maka diperlukan fasilitas waduk penampungan air laut ketika air pasang. Ketika kondisi surut, maka air yang tertampung tadi bisa digelontorkan ke bawah untuk menggerakkan baling-baling turbin pembangkit energi listrik,” urai Widodo.
Untuk memastikan suatu gelombang dapat dijadikan sumber energi, ia menyatakan perlu dilakukan penghitungan simulasi energi listrik, yang membutuhkan koefisien efisiensi dari model turbin yang akan digunakan menghasilkan energi listrik.
“Turbin pembangkit listrik ada yang kecil, medium, besar dan sangat besar, dimana masing-masing akan memiliki kebutuhan minimum tekanan agar tetap bisa bergerak atau berputar menghasilkan energi listrik,” urainya.
Energi listrik yang dihasilkan oleh turbin, lanjut Widodo, kemudian disimpan ke dalam storage penyimpan energi listrik seperti ‘Baterai’ atau ‘Aki’ sebelum didistribusikan ke pengguna, yang memastikan ketersediaan listrik walaupun tidak ada gelombang.
“Survei untuk Feasibility Study (FS) atau studi kelayakan harus dilakukan secara intregatif dan integral, diperlukan pakar multidisplin,” urainya lagi.
Misalkan, lokasi gelombang laut yang memadai untuk dipanen energinya dekat dengan pantai, ataupun jauh dari pantai, maka akan memerlukan fasilitas tersendiri baik untuk pemanenan energi, penyimpanan energi, dan pendistribusian energi.
Widodo menyatakan ketika berbicara fasilitas dan alat untuk operasional, diperlukan perhitungan-perhitungan modal investasi dan biaya operasionalnya, yang kemudian harus diperhitungkan pula Break Even Point (BEP) harga listrik yang akan dijual nantinya.
“Untuk Gelombang Laut akibat Angin maka yang potensial adalah seperti di sepanjang Pantai Barat Sumatra, Selatan Jawa-Nusa Tenggara. Untuk Gelombang Pasang surut, maka diperlukan tunggang pasut (tidal range atau jarak antara elevasi maksimum dan minimum yang besar), umumnya di wilayah perairan di Indonesia Timur. Namun harus tetap dilakukan survei secara detil komprehensif,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa