Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Suatu hari di tahun 1957 Bung Hatta berpidato di depan alumni Universitas Indonesia. Di dalam ceramah yang menekankan pentingnya peran intelektual di tengah masyarakat itu, Bung Hatta berkata:
“Tamat sekolah tinggi bukan berarti sudah diakui terhormat. Diploma sekolah tinggi hanya memuat pengakuan, bahwa pemilik diploma sudah dianggap cukup syaratnya dalam studi. Tanggungjawab seorang akademikus ialah intelektualitas dan moralitasnya. Ini terbawa oleh tabiat ilmu itu sendiri yang wujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran”.
Di tahun-tahun menjelang kemerdekaan, Indonesia hanya memiliki sekitar 400 orang lulusan sekolah tinggi, yang kebanyakan berasal dari sekolah kedokteran. Selebihnya para sarjana hukum seperti Profesor Soepomo, Achmad Soebardjo, Ali Sastroamidjojo, dan beberapa nama lain.
Mereka inilah yang termasuk di dalam golongan intelek yang umumnya mendisiplinkan diri dan mematangkan pengetahuan di dalam studi yang mereka pilih dengan menjauhi glamouritas.
Dengan ilmu hukum yang didalami mereka kemudian menjadi apostel (pencerah) bagi bangsanya sendiri.
Produk mereka di antaranya Undang-undang Dasar ‘45, butir-butir Pancasila, dan komitmen terhadap persatuan bangsa.
Mereka masuk ke dalam kekuasaan untuk membebaskan rakyat dari penjajahan. Bukan untuk mengembik bagaikan kambing dengan memilih jabatan Ambtenaar seperti umumnya impian bumiputera dan para priyayi konservatif pada masa itu.
Salah satu ciri yang menonjol dari generasi ahli hukum ini ialah kemampuan mereka dalam menciptakan konsepsi hukum baru, dan kelincahan berpikir, serta kemampuan tak terbatas dalam mencari kebenaran.
Untuk dapat seperti ini mereka lebih dulu memahami Volkgeist (Jiwa Bangsa).
Volkgeist adalah cerminan kondisi kejiwaan dari para elit yang sedang berkuasa dalam memperlakukan hukum yang kala itu berada di bawah supremasi kolonial.
Sakit-tidaknya kondisi kejiwaan sebuah bangsa menurut ahli hukum Jerman, Friedrich Carl Von Savigny, dapat dilihat dari Volkgeist-nya.
Selain memahami Volkgeist para ahli hukum pada masa itu juga mendengarkan dan menangkap perasaan yang berkembang di sanubari rakyat, yang menginginkan keadilan dan perubahan bangsanya ke arah yang lebih baik.
Para ahli hukum yang merupakan kaum intelek ini kemudian banyak yang masuk ke dalam kabinet dan menjadi tokoh dengan modal kewibawaan, karena reputasi, prestasi, integritas, kompetensi, konsistensi perjuangan, dan keberpihakan yang jelas kepada rakyat.
Namun sangat ironi intelektual di bidang hukum saat ini yang masuk ke dalam kancah kekuasaan ternyata memanipulasi kebenaran dengan menghasilkan Perppu Cipta Kerja yang mengundang banyak cemooh dan sumpah serapah berbagai kalangan, karena merugikan wong cilik dan menabrak konstitusi.
Budayawan Romo Mangunwijaya menyebut intelektual yang memanipulasi kebenaran tak ubahnya dengan intelektual kelas kambing, yang karena tak mampu berjarak dengan kekuasaan hanya bisa mengembik, bagaikan ternak di dalam kandang. Tak berpikiran merdeka dan bersikap obyektif.
[***]