KedaiPena.com – Terdamparnya kapal tongkang Gold Trans 308 yang mengangkut 7.500 metrik ton batubara di Perairan Teluk Pangpang Banyuwangi, dinyatakan berpotensi besar untuk mencemari wilayah sekitar. Tak hanya mempengaruhi ekosistem perairan laut tapi dalam jangka panjang akan mempengaruhi kondisi manusia.
Anggota Dewan Penasehat (Advisory Board) Korea – Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC), Widodo S. Pranowo memaparkan batubara, secara teoritik, adalah salah satu jenis dari bahan bakar fosil, sehingga termasuk kedalam kategori Bahan Beracun dan Berbahaya (B3).
“Batubara, walaupun masih dalam bentuk belum dibakar, adalah tetap berbahaya, apalagi ketika tumpah ke dalam lingkungan laut. Potensial pencemaran yang paling umum terjadi adalah peningkatan turbiditas atau kekeruhan di kolom air akibat debu-debu atau serpihan-serpihan bubuk dari batubara yang tumpah,” kata Widodo saat dihubungi di Banyuwangi, Senin (15/11/2021).
Secara geografis, Perairan Teluk Pangpang secara umum adalah perairan semi tertutup, yang tampak dari citra satelit bentuknya seperti huruf U dengan kaki huruf yang cukup panjang.
“Ketika ada ada gelombang laut dari arah utara masuk ke teluk tersebut, maka diduga akan terjebak lama di dalam teluk. Gelombang laut yang terjebak tersebut diduga akan berpadu dengan elevasi pasang surut laut yang dominan di Teluk Pangpang, menghasilkan pengadukan. Pengadukan tersebut, dikhawatirkan akan memperlama kekeruhan, ya g akan menghambat penetrasi sinar matahari ke dalam kolom air. Akibatnya, proses fotosintesis yang biasanya dilakukan oleh fitoplankton akan terhambat atau tidak bisa terjadi. Buntutnya, mengganggu keseimbangan ekosistem organisme laut di Teluk Pangpang,” urainya.
Sementara itu, bongkahan-bongkahan batubara yang tenggelam dan berada di dasar perairan, bila tidak segera dievakuasi dari dasar perairan Teluk Pangpang, akan berdampak kepada manusia.
“Secara teoritik, batubara mengandung Poli-Aromatik Hidrokarbon (PAH), logam berat dan kandungan asam yang sangat tinggi. Apabila bongkahan batubara tersebut berada di dasar laut yang terbuka, kemungkinan besar kontaminasinya sulit dideteksi, dan ketika diukur kandungannya akan berada di bawah ambang batas pencemaran. Hal tersebut dikarenakan kontaminan yang dihasilkan oleh bongkahan-bongkahan batubara tersebut akan terencerkan oleh volume massa air yang banyak dan kemudian dengan mudah dihanyutkan oleh arus,” urainya.
Ia juga menyebutkan, dampak negatif lain yang bisa terjadi jika bongkahan-bongkahan batubara di Teluk Pangpang tidak segera diangkat antara lain penyerapan senyawa logam berat dari batubara oleh organisme laut di Teluk Pangpang.
“Terutama kerang-kerangan yang hidup di dasar perairan Teluk Pangpang mungkin tidak mati, namun logam berat tersebut bisa terakumulasi di dalam daging kerang-kerangan tersebut dan sangat berbahaya apabila dikonsumsi oleh manusia,” tutur Widodo.
Ditambah dengan probabilitas teralirkannya senyawa logam berat ke kanal-kanal di pesisir dan masuk ke tambak-tambak yang ada di pesisir barat dari Teluk Pangpang.
“Apabila itu adalah tambak garam maka garam yang diproduksi berpeluang mengandung logam berat akan sangat berbahaya bila dikonsumsi dalam jangka panjang oleh manusia. Apabila itu adalah tambak ikan atau udang, maka logam berat berpeluang merusak insang ikan atau udang. Kandungan asam kuat dari bongkahan-bongkahan batubara, dikhawatirkan akan mengurangi kandungan oksigen terlarut di kolom air Teluk Pangpang. Daya asamnya yang kuat dalam jangka waktu yang lama dikhawatirkan akan menghalangi pembentukan terumbu pada karang, dan menghalangi pembentukan cangkang-cangkang kalsium dari hewan laut yang semestinya bercangkang,” tuturnya lebih lanjut.
Hal senada juga disampaikan oleh Ahli Toksikologi IPB, Prof Etty Riany yang menyatakan keberadaan batubara di perairan berpotensi menimbulkan pencemaran.
“Akan sangat berpotensi untuk menyebabkan pencemaran. Baik pencemaran nutrisi nahan organik dan bahan anorganik serta pencemaran logam berat. Jadi bisa dikatakan, masuknya batubara dalam perairan sangat berpotensi untuk menyebakan terjadinya kerusakan lingkungan di periaran tersebut,” kata Prof. Etty saat dihubungi terpisah.
Ia menyatakan sesuai dengan Undang Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penanganan kejadian ini merupakan kewenangan dari Dirjen Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Untuk mekanisme penanganan, bisa dikonfirmasi dengan Gakkum. Tapi secara umum, jika memang terbukti ada pencemaran dan kerusakan lingkungan, maka akan ada sanksi pada pemilik kapal. Bentuknya bisa administrasi, perdata maupun pidana,” pungkasnya.
Laporan : Natasha