KedaiPena.com – Dua perusahaan internasional, PepsiCo dan Friesland Campina memutuskan mengikuti jejak enam perusahaan internasional lainya, L’Oréal, Nestle, Hersey, P&G, Colgate dan Danau, untuk menangguhkan Astra Agro Lestari (AAL) dari rantai pasok sawit mereka.
Alasannya adalah laporan terkait aktifitas bisnis dari tiga anak perusahaan Astra Agro Lestari di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat oleh Walhi dan Friends of Earth Amerika Serikat, yang menyebutkan bahwa aktifitas anak perusahaan Astra Agro Lestari telah menciderai hak asasi manusia dalam bentuk perampasan tanah, kriminalisasi, dan kerusakan ekologis seperti sungai.
Salah satu yang termasuk didalamnya adalah PT Agro Nusa Abadi di Morowali Utara.
Pimpinan Kelompok Tani di lahan perkebunan yang diklaim oleh PT Agro Nusa Abadi, Ambo Endre menyatakan PT ANA di Morowali Utara masih belum memiliki Hak Guna Usaha.
“Dalam dua pekan terakhir, kondisi lokasi agak sedikit mencekam, karena pihak perusahaan menggerakkan personil Brimob bersenjata lengkap untuk menghadang petani yang ingin beraktifitas di arealnya,” kata Ambo dalam konferensi pers yang digelar Walhi Nasional, Jumat (17/3/2023).
Ia juga menyampaikan bahwa pekan lalu, salah satu anggota Serikat Petani didatangi oleh 10 personil Brimob bersenjata lengkap dan menghentikan aktifitas di lahan milik petani tersebut.
“Menurut pihak Brimob, areal tersebut adalah milik PT ANA. Sementara, dari bukti kepemilikan, petani memiliki legalitas kepemilikan atas lahan tersebut, berdasarkan surat dari pemerintah dan Camat,” ujarnya.
Ambo sendiri mengaku juga telah didatangi oleh Brimob, yang meminta dirinya untuk berhenti beraktifitas di atas lahan miliknya.
“Beberapa waktu lalu pun, ada personil intel polisi Morowali Utara ke rumah para petani dan meminta para petani menghentikan aktifitas di atas lahan milik para petani tersebut. Ancamannya, apabila petani beraktifitas, yaitu panen, maka para petani sebagai pemilik lahan, akan dipenjarakan,” ujarnya lagi.
Ia menyebutkan, dalam penilaiannya, upaya seperti ini sudah masuk dalam tindakan intimidasi dan kriminalisasi.
“Kami semua mempertanyakan, apakah korporasi berhak melakukan budidaya perkebunan di satu wilayah tertentu, tanpa adanya legalitas yang diakui resmi negara?” tanya Ambo.
Berdasarkan pengetahuannya, Ambo menyebutkan PT ANA mendapatkan izin lokasi seluas 19 ribu hektar dari pj Bupati Morowali Utara pada tahun 2006.
Pada tahun 2014, terbit pembaharuan izin lokasi, dari 19 ribu hektar menjadi 7.200 hektar, bersamaan dengan terbitnya IUP yang ditandatangani oleh pj Bupati Morowali Utara yang menjabat pada tahun tersebut.
Hasil Brief Ombudsman pada tahun 2015, izin lokasi dan IUP PT ANA berstatus mal-administrasi. Tapi, pada 10 September 2015, muncul lagi izin lokasi tapi bentuknya per desa.
“Kami sendiri mengetahui bahwa terkait terbitnya izin lokasi ini, dari surat Kapolres Morowali Utara kepada Komnas HAM, yang menyatakan bahwa PT ANA lengkap legalitasnya, berdasarkan izin lokasi yang terbit pada 10 September 2015,” paparnya.
Sementara, menurut Ambo, para petani sudah mengelola lahannya sejak tahun 1993 hingga 1995. Dan semuanya terhenti saat PT ANA menyerobot lahan pada tahun 2006.
“Ketiadaan legalitas PT ANA ini juga menyebabkan mereka tidak pernah melakukan pembayaran PAD ke kabupaten, sejak tahun 2006 tersebut. Kami sangat heran, pemerintah tidak ada yang bereaksi atas kondisi saat ini. Malah terkesan pemerintah melindungi PT ANA. Padahal, sudah merugikan daerah, merugikan petani tapi tetap dilindungi. Buktinya, Februari lalu, Pemda Kabupaten Morowali Utara melakukan rapat dengan direksi PT ANA dan menghimbau masyarakat untuk tidak beraktifitas di atas lahan, yang diakui PT ANA sebagai miliknya,” paparnya lagi.
Ambo juga menyatakan, walaupun ada delapan perusahaan internasional yang menunda kerjasama mereka dengan induk perusahaan PT ANA, yakni Astra Agro Lestari, tapi tak ada perubahan dari sikap PT ANA.
“Bukannya memperbaiki, malah mengintimidasi petani, dengan mendatangi petani Dane meminta mereka untuk tidak beraktifitas di lahan yang sebenarnya milik mereka sendiri,” ungkapnya.
Ia menyatakan seluruh masyarakat petani sangat mengharapkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat dapat menghentikan kegiatan illegal PT ANA.
“Dan lepaskan dua kawan kami, yang sedang dipenjara di Rutan Kolonodale. Dan, kami minta PT ANA untuk berhenti menciptakan peta konflik, yang menghasut para pekerja-nya dengan menyatakan bahwa kami para petani ini akan menyebabkan para pekerja itu akan kehilangan pekerjaan mereka,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa