KedaiPena.Com – Penjajahan di Nusantara sebenarnya juga didukung oleh lemahnya ekonomi kerajaan-kerajaan yang ada. Kolonialisme di Jawa umumnya terjadi bukan dengan operasi militer, tapi melalui perjanjian-perjanjian ekonomi (semacam undang-undang), antara raja dengan VOC.
Demikian disampaikan wartawan senior Arief Gunawan di Jakarta, Jumat (13/6/3/2020).
“Kecuali Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Diponegoro, perjanjian-perjanjian itu bukan untuk menguntungkan rakyat. Tapi untuk kemakmuran raja & kroninya serta negeri Belanda,” ujar AG, sapaannya.
AG kemudian mengutip sejarawan Onghokham yang menyebut VOC merupakan cukong terbesar kerajaan-kerajaan di Nusantara, khususnya di Jawa.
VOC selalu memihak raja yang “legitim”, dan ikutserta memadamkan oposisi, kalangan kritis, dan para tokoh yang berbeda pendapat dengan raja. Termasuk membiayai penumpasan terhadap aspirasi rakyat dan memecah-belah keraton melalui perang takhta.
Perjanjian-perjanjian seperti Giyanti, Perjanjian Salatiga, Perjanjian Jepara, Perjanjian Ponorogo, ordonansi kuli (disertai poenale sanctie) adalah contoh-contoh.
“Tentang kerajaan yang belakangan ditaklukkan Belanda, Prof G.J Resink menjelaskan dalam buku Raja dan Kerajaan Yang Merdeka di Indonesia, 1850-1910. Perjanjian Giyanti, Mataram dipecah dua oleh VOC jadi Jogja & Solo (Surakarta), 1755. Perjanjian Salatiga, Surakarta dibagi dua oleh VOC jadi Kesunanan dan Mangkunegaran, 1757,” jelas diam
Lalu Perjanjian Jepara, Amangkurat II serahkan pesisir utara Jawa ke VOC, 1676. Kemudian Perjanjian Ponorogo, Paku Buwono II dengan VOC yang mematikan perdagangan bahari masyarakat Jawa, 1743, dengan penguasa mutlak VOC dan intervensi terhadap pemilihan aparat kerajaan hingga bupati.
Dalam konteks sekarang, lanjut AG, esensinya kurang lebih sama dengan Amandemen UUD ‘45, Undang-undang Migas, hingga Omnibus Law yang penuh kepentingan asing & aseng dan merugikan wong cilik.
“Dalam konteks Omnibus Law RUU ini sangat menindas hak-hak buruh/pekerja,” tegasnya.
VOC sendiri terbiasa dengan perbudakan. Rakyat dari pulau-pulau Nusantara yang umumnya miskin direkrut untuk dijadikan budak. Bahkan beberapa kerajaan di Nusantara hingga akhir abad 19 menggantungkan pendapatan dari mengekspor budak.
“Ordonansi Kuli esensinya adalah peraturan tentang perburuhan, mirip Omnibus Law, yang disamakan dengan budak. Poenale Sanctie adalah hukuman fisik yang sangat kejam terhadap para buruh, misalnya terhadap para buruh perkebunan (kuli kontrak) di tanah Deli atau Senembah, Sumatera Timur, dan beberapa wilayah lain,” sambungnya.
Jumlah tentara VOC sebenarnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu canggih. Waktu agresi pertama di Aceh, 1873, belum dua minggu Jenderal Kohler yang mimpin penyerbuan mati ditembak pejuang Aceh.
Alutsista Belanda pada masa itu juga tidak mendominasi, bahkan beberapa kerajaan di Nusantara saat itu sudah memiliki semacam hubungan kerjasama pertahanan, seperti halnya Kerajaan Aceh dengan Turki.
“Banyak kerajaan yang jatuh belakangan. Bali baru bisa ditaklukkan pada 1910, Ternate 1923, Ruteng 1928, Sulawesi Selatan 1905, Toraja 1910, dan para pejuang Aceh berperang selama sekitar 70 tahun lebih melawan Belanda dengan gagah berani,” AG menambahkan.
Yang patut diketahui, VOC rezim yang rapuh, yang hancur karena korupsi, sehingga dicela Vergaan Onder Corruptie, karena utang yang menumpuk, kalah tekhnologi dengan kapal Inggris, dan karena adanya traktat pembagian wilayah dagang dengan Inggris.
“Namun elit penguasa hari ini menyeret kita untuk kembali ke zaman VOC melalui Omnibus Law. Kini betapa kian terasa kita hidup dalam nafas zaman yang sama, zaman VOC,” sesal AG.
Laporan: Muhammad Lutfi