KedaiPena.Com – Warga RT 08 yang tinggal di Jalan Lauser Kelurahan Gunung, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan menggelar pengajian rutin bulanan, kemarin malam. Yang berbeda dengan kegiatan pengajian sebelumnya, acara kali ini ada kegiatan penyuluhan dan diskusi dari PBHI Jakarta.
Temanya, hak warga negara atas perumahan. Acara dimulai pada pukul 20.30 setelah warga menggelar sholat berjamaah di masjid. Â Kegiatan dihadiri oleh para tokoh masyarakat dan pemuka agama dan RT serta para Ketua RW di lingkungan RW 08.
Dalam acara penyuluhan dan diskusi warga, dijelaskan soal penggusuran yang akan terjadi. Warga menyebutkan bahwa mereka yang hari ini tinggal adalah generasi kedua. Di mana sudah sejak tahun 1955, tanah Jalan Lauser masih rawa-rawa dan berbukit layaknya gunung. Dan ini merupakan asal mula penamaan Kelurahan Gunung.
Sudah sejak tahun 1967, Pemerintah memberlakukan atau menarik pajak bumi dan bangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan sejak saat itu pula, warga RT 08, RW 08 terdaftar sebagai wajib Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang pada saat itu bernama Ipeda (Iuran Rehabilitasi Daerah).
Pada tahun 1974, warga sudah meminta kepada kepala dinas tata kota untuk pembuatan sertifikat tanah dan bangunan, yang saat itu sudah dihuni lebih dari 20 tahun. Namun, tidak direspon padahal surat-surat sudah diserahkan. Sampai pada akhirnya PAM Jaya mengklaim bahwa tanah yang mereka tempati adalah milik mereka.
Advokat PBHI Jakarta, Yudi Rijali Muslim mengatakan, dalam setiap pendampingan, mengacu kepada undang undang. Di mana hak atas perumahan telah diatur secara tegas dan jelas, dan pemerintah wajib melaksanakan sebagai amanat konstitusi seperti disebutkan dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945.
“Pasal 28H ayat 1 berbunyi, ‘Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan’.
Hal tersebut diatur juga dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yakni pada
Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi: ‘Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah’,” tambah dia lagi.
Sementara itu, Yudi melanjutkan, pada Pasal 19Â (1) dinyatakan bahwa penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
“Pada ayat 2 disebutkan, penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Itu artinya pemerintah bertanggung jawab dalam ketersediaan perumahan yang layak bagi semua rakyat,” sambung dia lagi.
Sementara itu, advokat Simon Fernando Tambunan menambahkan, selain dari pada ketentuan itu semua dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yakni di pasal 40 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
“Dalam UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya), yakni di pasal 11 ayat (1) dijelaskan bahwa Negara mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak bagi keluarganya, termasuk cukup pangan, sandang dan papan yang layak, dan atas perbaikan kondisi yang berkelanjutan,” Simon menegaskan.
Nah, di Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, terutama di pasal 25 ayat 1 juga disebutkan, setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan.
“Setiap orang juga berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya,” pungkas Simon.
(Prw/Yud)