Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Orang Belanda waktu menjajah masih punya sedikit idealisme humanitarian, bikin Komisi Adat buat melindungi dan menjamin hak adat masyarakat, sehingga para ambtenar (kepala daerah) waktu itu jadi magistraat, ikut menjaga hukum adat dan lingkungan.
Magistraat misalnya ikut memeriksa siapa yang berhak atas hasil pohon bernilai ekonomis yang tumbuh di tengah hutan yang terpencil yang biasanya bisa jadi pemicu pertengkaran warga.
Mereka juga dilatih teliti dalam mengelola kas keuangan daerah untuk mencegah korupsi, supaya tidak mengulangi kegagalan rezim VOC yang runtuh antara lain karena korupsi.
Kini dalam dua tahun terakhir elemen adat seperti baju adat kerap dieksploitasi dalam perayaan Tujuhbelas Agustus sebagai alat pencitraan.
Hal ini sangat kontradiktif, karena kenyataannya RUU Masyarakat Adat yang mengatur dan melindungi hak-hak adat masyarakat tidak pernah disahkan oleh DPR.
Sementara DPD RI sebagai representasi kepentingan masyarakat daerah terkesan sama sekali tidak peduli, padahal di banyak daerah banyak wilayah adat yang digusur oleh perusahaan tambang dan perkebunan, di mana masyarakat kehilangan hak adat.
Akibatnya sering terjadi konflik yang tidak jarang menimbulkan korban di pihak masyarakat yang merasa harus mempertahankan haknya, ketika berhadapan dengan para pemilik modal tambang dan kebun.
Kearifan lokal yang merupakan salah satu elemen adat kini juga semakin tergerus oleh budaya global, sehingga tidak sedikit generasi Milenial yang tidak mengenal adat daerah masing-masing.
Bangsa yang beradab adalah bangsa yang menjunjung adat istiadat. Mempermainkan adat sebagai sekedar alat pencitraan hanya akan menjadikan kita bangsa yang “tidak tahu adat”. Dalam arti lancung. Tidak menghargai.
[***]