Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Pernyataan Andi P Hasanudin yang mengandung fitnah, pencemaran, kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA, kabar bohong yang menerbitkan keonaran dan pengancaman pembunuhan secara resmi telah masuk ke proses hukum, ditandai dengan terbitnya Laporan Polisi bernomor LP/B/76/IV/2023/SPKT/Bareskrim Polri, tertanggal 25 April 2023.
Namun sayang, ada sejumlah upaya yang dilakukan sejumlah pihak untuk menghentikan kasus ini hanya dengan dalih AP Hasanudin telah meminta maaf. Padahal, telah berulangkali disampaikan bahwa permintaan dan pemberian maaf tidak menghapus unsur perbuatan yang melawan hukum.
Terlebih lagi, perbuatan telah selesai dilakukan dan sempurna diakui oleh Andi Pangerang Hasanudin. Jadi jelas, tindakan itu bukan perilaku hacker, bukan akun anonim, bukan akibat peretasan, melainkan secara sadar diakui perbuatan Andi Pangerang Hasanudin, peneliti dari BRIN.
Bagi sejumlah pihak baik individu atau ormas tertentu, rasanya terlalu lancang menyuarakan narasi pemberian maaf dan seruan untuk menghentikan kasus. Lain soal, kalau itu berasal dari Ormas Muhammadiyah selaku korban.
Semestinya, pihak-pihak di luar Muhammadiyah baik individu maupun ormas tertentu mendukung langkah hukum yang telah ditempuh oleh Muhammadiyah sebagai bentuk rasa empati kepada Muhammadiyah. Bagaimana jika ancaman itu diarahkan kepada Ormasnya? Tentu, semua juga akan menempuh langkah hukum yang sama.
Karena itu, penulis menyayangkan sikap Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Umarsyah yang meminta pengancam warga Muhammadiyah, Andi Pangerang Hasanuddin dimaafkan dan tidak perlu masuk ke ranah kepolisian. Mengingat, dahulu saat Ustadz Maheer at Tuwailibi dituduh merendahkan tokoh NU (Habib Lutfi) dan telah meminta maaf, nyatanya tidak dimaafkan dan proses hukum tetap lanjut. Bahkan, hingga Ustadz Maheer at Tuwailibi menjemput ajal di tahanan karena kasus tersebut.
Siapapun sepakat, kasus Ustadz Maheer at Tuwailibi tidak ada seujung kukunya ketimbang kasus Andi Pangerang Hasanudin. Andi mengancam membunuh, bukan hanya satu, tapi kepada seluruh warga Muhammadiyah hanya karena perbedaan pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri.
Jika ada wacana memberikan maaf, maka itu hak mutlak warga persyarikatan Muhammadiyah selaku korban ujaran bar-bar Andi P Hasanudin. Namun, secara hukum Muhammadiyah telah mengambil tindakan elegan melalui proses hukum. Penulis kira, sikap yang paling bijak adalah menghormati proses hukum yang ditempuh Muhammadiyah.
Kepolisian juga tak boleh membangun opini bahwa Andi P Hasanudin bermasalah secara psikologi, ibunya juga Muhammadiyah, sehingga ada arah opini yang kesimpulannya kasus ini sebaiknya dihentikan. Baik karena ketiadaan kemampuan bertanggungjawab secara hukum, maupun karena masih warga persyarikatan.
Biarlah pengadilan yang mengadili dan memutus perkara. Kalau memang Andi Pangerang Hasanudin gila, biarlah pengadilan yang menetapkannya. Bukan kewenangan kepolisian, sehingga dijadikan dalih untuk menghentikan kasus.
Kalau memang ibunya dari Muhammadiyah, biarlah otoritas Muhammadiyah yang melakukan verifikasi. Meskipun, jika terbukti warga Muhammadiyah, tindakan Andi P Hasanudin tetap salah dan tetap harus diproses secara hukum, agar ada efek jera dan menjadi jaminan keselamatan bagi segenap warga Muhammadiyah dari kasus serupa.
Sekali lagi, jika masih mengakui negara berdasarkan hukum, jika hukum masih dijadikan panglima, maka proses hukum Andi P Hasanudin hingga ke pengadilan. Selanjutnya, biarlah pengadilan yang mengadili dan memutuskan perkaranya.
[***]