SEBELUM menjadi seorang muslim pengikut Rasulullah di awal-awal dakwahnya, Abu Bakar As Ashidiq adalah seorang saudagar yang dikenal kaya raya. Dan dia memiliki banyak sekali onta.
Namun begitu ia menjadi muslim, dengan penuh kesadaran dan ghirah keberislamann yang kuat, seluruh harta kekayaannya pun didedikasikan untuk agenda-agenda perjuangan dakwah bersama Rasululah SAW.
Kabarnya, pada setiap kali pertemuan Rasulullah dengan para sahabatnya untuk membahas kebutuhan-kebutuhan riil terkait agenda-agenda dakwah dan jihad di jalan Allah, jarang sekali sahabat lain yang mengacungkan tangannya ketika ditanya Rasulullah siapa yang mau memberikan sumbangan. Kecuali dan lagi-lagi yang mengacung adalah tangan Abu Bakar.
Pernah di lain waktu ternyata ada sahabat lain yang mengacungkan tangan selain Abu Bakar, ketika Rasulullah bertanya siapa yang hendak menyumbang.
“Saya ya Rasulullah!” jawab Umar Bin Khatab.
Lantas Rasulullah bertanya pada Umar:Â “Hai Umar, berapa banyak hartamu yang sudah engkau sedekahkan untuk jalan Allah?”
“Seperdua dari pada hartaku,” jawab Umar.
Rasulullah lalu menoleh ke Abu Bakar dan mengajukan pertanyaan yang sama seperti ditanyakan kepada Umar.
Abu bakar menjawab, bahwa kini seluruh ontanya habis disumbangkan semuanya untuk kepentingan dakwah Rasulullah dan jihad di jalan Allah.
“Apa lagi saat ini yang tersisa padamu,” tanya Rasulullah lagi pada Abu Bakar.
“Allah dan RasulNya!” jawab Abu Bakar singkat, jelas dan mantab.
Jelas beda jauh, laksana bumi dan langit, antara motif perjuangan Abu Bakar As Shidiq dengan para ustad dan agamawan dari tradisi “industri spiritual” saat ini di Indonesia yang menerapkan prinsip-prinsip beragama secara efisien dengan keuntungan finansial sebesar-besarnya, bukan?
Oleh Nanang Djamaludin, penggiat di KIAT 98 (Komunitas Intelektual Aktivis 98)