KALAU melihat naga-naganya, mega proyek kota Meikarta milik taipan James Riady bakal tak terbendung.
Presiden Jokowi, kata Menko Maritim Luhut Panjaitan, telah memerintahkannya untuk mengkoordinasikan kajian menjadikan Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Purwakarta sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Abrakadabra! Meikarta yang terletak di Bekasi Timur dengan begitu akan masuk ke dalam areal KEK. Inilah kelihatannya yang menjadi dasar utama mengapa tiba-tiba muncul sebuah ide ‘ajaib bin ajibun’ membentuk KEK di kawasan yang sesungguhnya telah menjadi sebuah metropolitan. Sungguh merupakan ilmu sulap tingkat dewa.
Dengan menjadi KEK, maka Meikarta akan mendapatkan berbagai insentif dan kemudahan investasi. Jalan tol dan karpet merah dibentangkan oleh pemerintah, agar pembangunan proyek milik konglomerasi Lippo itu bisa berjalan tanpa hambatan apapun, dan oleh siapapun.
Pembangunan Meikarta mengalami sengkarut perizinan karena pembangunannya tak sesuai dengan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi, dan Provinsi Jawa Barat. Kendati begitu proyek tersebut jalan terus, tak peduli Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar (Demiz), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), bahkan Ombudsman RI mempersoalkannya.
Lippo terus beriklan dan melakukan penjualan besar-besaran apartemen Meikarta. Media-media besar dibungkam dengan gelontoran iklan sampai triliunan rupih.
Survei yang dilakukan oleh AC Nielsen menunjukkan, hanya dalam waktu tiga bulan, iklan Meikarta tembus angka Rp1,2 triliun. Meikarta juga menjadi ‘top ads spender’ (pembelanja iklan terbesar) sepanjang Januari-September 2017, mengalahkan Traveloka dan makanan sejuta umat, Indomie.
Gaya Meikarta yang ‘cuek bebek’ mengabaikan suara yang mewakili kepentingan publik, sampai membuat Demiz menyebutnya “seperti negara dalam negara.†Dengan kekuatan uangnya, mereka membeli dukungan, menabrak semua peraturan yang ada.
Usulan menjadikan Bekasi, Karawang, dan Purwakarta sebagai KEK datangnya dari pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. James Riady merupakan salah satu wakil ketua umum Kadin Indonesia. Mereka bertemu dengan Presiden Jokowi 26 Oktober di Istana. James Riady juga hadir dalam pertemuan tersebut.
Presiden, kata Menko Maritim Luhut Pandjaitan, menyetujui dan menunjuknya sebagai koordinator pengkajian. Luhut segera bergerak cepat. Hanya tiga hari berselang (29/10), dia menghadiri ‘topping off’ (pemasangan atap) tower Meikarta.
Bersama Kadin, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) segera melakukan kajian. Mereka diberi waktu selama dua pekan, dan pada tanggal 16, atau 17 November harus sudah memberi laporan. Apakah harus ada studi lanjutan, atau rekomendasinya dianggap sudah cukup.
Penunjukan Luhut sebagai Koordinator Pengkajian KEK Bekasi, Karawang, dan Purwakarta sangat menarik, sekaligus menunjukkan posisi Luhut sebagai orang kepercayaan yang sangat diandalkan Jokowi.
Jika melihat tugas pokok dan fungsinya (tupoksi), maka KEK berada di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Kewenangan Menko Maritim hanya meliputi Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam, Kementrian Perhubungan, Kementrian Pariwisata, serta Kementrian Kelautan dan Perikanan. Mengapa bukan Menko Perekonomian Darmin Nasution yang diberi tugas?
Jelas sudah apa maunya Presiden. Apapun hambatannya proyek Meikarta harus berjalan mulus, termasuk bila harus melanggar alur koordinasi dan tata kelola pemeritahan yang baik. Padahal Presiden baru saja menerbitkan Inpres No 7/2017 yang mengatur agar para menteri tidak gaduh dan berbeda pendapat di muka umum, terutama media.
Dalam Inpres yang disebut media sebagai Inpres “anti gaduh,†diatur mekanisme pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan hal-hal yang strategis, dan menyangkut hajat hidup masyarakat luas, agar dikoordinasikan dengan Menko terkait. Nah sekarang Presiden sendiri yang melakukan ‘by pass’ dan mengabaikan Darmin.
Akibatnya tidak terhindarkan. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro secara terbuka menyatakan beda pendapat dengan Luhut. Menurutnya Bekasi, Karawang dan Purwakarta tidak memenuhi syarat menjadi KEK. Kawasan itu sudah berkembang pesat, dan mempunyai infrastruktur lengkap. Jadi tidak memerlukan insentif fiskal.
KEK dibentuk berdasarkan UU No 39/2009 bertujuan untuk pemerataan pembangunan dan mempercepat pertumbuhan kawasan yang belum maju.
Dalam Pasal 3 (1) KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona: a. pengolahan ekspor; b. logistik; c. industri; d. pengembangan teknologi; e. pariwisata; f. energi; dan/atau g. ekonomi lain.
Pasal 2 disebutkan, dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Sementara Meikarta konsepnya adalah sebuah kota dengan jualan utama perumahan. Dari bunyi UU tersebut jelas logika pemerintahan Jokowi menjadi terbalik-balik.
Dibangun dulu perumahan, bahkan kota, setelah berbenturan dengan perizinan, maka diubah menjadi KEK. ‘Uennaaak tenan’.
Pada Pasal 4 lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus memenuhi kriteria: a. sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung.
Wagub Jabar Demiz dengan keras menolak revisi RDTR Kabupaten Bekasi yang berencana mengkonversi lahan pertanian produktif seluas 6.000 hektar menjadi perumahan. Bekasi merupakan lumbung pangan Jabar. Apalagi Pemkab Bekasi juga tidak bisa menjelaskan dimana lahan penggantinya.
Demiz mencurigai perubahan RDTR itu merupakan akal-akalan pengembang yang bekerjasama dengan oknum di Pemkab. Kalau hal itu dibiarkan, meminjam kata-kata Jenderal Nagabonar “Apa kata duniaaaa?â€
Yang tepat, menurut Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro, Bekasi, Karawang, dan Purwakarta didorong menjadi kawasan metropolitan. Dengan begitu pemerintah dapat fokus kepada pengembangan infrastruktur dan konektivitas di wilayah tersebut. Apalagi di kawasan tersebut sudah banyak investor dan menyumbang 43% dari industri nasional. Sekali lagi, tidak perlu insentif fiskal.
Pemikiran Bambang sejalan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Pemprov Jabar yang akan mengembangkan tiga kawasan kota metropolitan. Metropolitan Bodebek Karpur (Bogor, Depok, Bekasi, Karawang dan Purwakarta), Metropolitan Bandung Raya, dan Metropolitan Cirebon Raya.
Sementara untuk KEK, Pemprov Jabar mengusulkan ada enam titik. Geopark Ciletuh, Pelabuhan Ratu Sukabumi, Pangandaran dan Purwakarta menjadi KEK pariwisata. Tiga lainnya adalah KEK Walini Bandung Barat, KEK BIJB Aetropolis Kertajati Majalengka, dan Jatigede Sumedang.
Dengan mengusulkan Bekasi, Karawang, dan Purwakarta sebagai KEK, hanya untuk kepentingan Meikarta, pemerintah pusat akan mengubah RUTR Provinsi Jabar yang sudah melakukan kajian cukup lama dan sangat komprehensif.
Seperti biasa ketika menanggapi berbagai keberatan, Luhut bergeming dengan posisinya. Keputusan menjadi KEK menurutnya akan dilakukan melalui sebuah studi. Bukan hanya berdasar suka atau tidak suka.
Sikap Luhut ini mengingatkan kita pada kasus reklamasi dan pembuatan pulau di Pantai Utara Jakarta. Luhut saat itu juga berbeda pendapat dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang menolak reklamasi.
Luhut juga menantang para penentangnya untuk adu data, jangan asal ngomong. Menurutnya timnya telah melakukan kajian yang cukup komprehensif. Karena itu dia berani pasang badan agar proyek tersebut jalan terus. Padahal penentang Reklamasi juga sudah melakukan pengkajian. PTUN juga sudah mencabut izin Reklamasi.
Melihat aksi Luhut di sengkarut Reklamasi, dipastikan dia juga akan kembali pasang badan dalam proyek KEK c/q Meikarta. Apalagi sesuai pengakuannya, ini adalah penugasan dari Presiden. Sebagai ‘trouble shooter’ Presiden Jokowi, Luhut pasti akan menjalankan tugas sebaik-baiknya.
Bisa dibayangkan, dalam sengkarut Reklamasi yang seperti dikatakan Presiden Jokowi, dia tidak pernah memberi izin baik sebagai Gubernur DKI, maupun Presiden saja Luhut ‘all out’. Apalagi untuk Meikarta.
Hanya saja kembali mengutip suara-suara di dunia maya “Apakah situasi di daratan sudah demikian genting, sehingga menko urusan kelautan sampai harus turun tangan?.†Ada apa di Meikarta?.
Oleh Hersubeno Arief, Jurnalis Senior