Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Kedaipena.com – Hasil penelitian ilmiah antropolog Clifford Geertz yang mengintrodusir istilah “Negara Teater” untuk menunjukkan sebuah pemerintahan yang mementingkan dramatisasi dalam berpolitik rupanya cocok dengan pendapat mantan Hakim Konstitusi, Profesor Jimly Asshiddiqie, yang disampaikannya belum lama ini.
Jimly Asshiddiqie menyebut Presidential Threshold sebesar 20 persen sebagai pangkal drama koalisi para elit politik saat ini.
“Yang kita tonton sekarang jelas tontonan kurang sehat. Semua pragmatis, transaksional. Menentukan koalisi susahnya bukan main. Semuanya saling kasak-kusuk. Saling intip. Sehingga capres-cawapresnya tidak sejati, pemimpin dan koalisinya pragmatis,” tandas Jimly Asshiddiqie dalam diskusi daring ICMI, Sabtu (12/8/2023), seperti dikutip media online Kedaipena.
Karena itu ia menyarankan Presidential Threshold sebesar 20 persen dihilangkan menjadi 0 persen.
Jika dihapus, lanjutnya, maka setiap partai politik dan tokoh masyarakat dapat maju menjadi calon presiden. Masyarakat dapat menentukan pilihan secara bebas.
Ini akan sesuai pula dengan praktek demokrasi, dan setiap calon presiden akan saling berkompetisi bukan hanya berdasarkan hasil pencitraan dari lembaga-lembaga survei berbayar dan media massa berbayar, tetapi berdasarkan track record, integritas, serta kemampuan diri sebagai problem solvers.
Apa yang dimaksud dengan “Negara Teater”?
Menurut Clifford Geertz, Negara Teater bukan pemerintahan yang mendedikasikan diri untuk kepentingan mayoritas rakyat. Bukan pula suatu birokrasi yang bertujuan melayani rakyat. Melainkan sebuah pertunjukan teater yang diorganisir.
Negara Teater menekankan dramatisasi obsesi-obsesi kelas yang berkuasa, seperti para politisi.
Salah satu cirinya ialah mengutamakan ritual, seremonial, dan simbol. Dimana kesan yang muncul bukan saja kontradiktif, tetapi juga memperlihatkan watak hipokrit kekuasaan.
Koalisi partai-partai dalam mengusung calon presiden saat ini esensinya juga pertunjukan drama. Selain manipulatif, tidak menampilkan pendidikan politik yang sehat kepada rakyat, drama seperti itu juga menunjukkan bahwa mayoritas rakyat negeri ini belum merdeka. Karena masih tertindas dalam memilih calon presiden akibat adanya ketentuan Presidential Treshold 20 persen yang dipertahankan oleh para elit kekuasaan.
Dikatakan tertindas karena Presidential Treshold tidak ada di dalam Undang-undang Dasar 1945.
Dalam risalah sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang menghasilkan UUD 1945 tidak ada pembahasan tentang ambang batas pencalonan presiden.
Ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Treshold sama sekali tidak dikenal.
Secara linguistik, misalnya, saat itu bahasa Inggris tidak lazim dipakai oleh para anggota sidang BPUPKI yang terdiri dari para elit bangsa, yang dalam keseharian berkomunikasi menggunakan bahasa Belanda.
Presidential Treshold muncul setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen yang menyebabkan berubahnya sistem pemilihan presiden.
Pertamakali digunakan pada Pilpres 2004 dengan Presidential Treshold 10 persen, yang kini naik 20 persen.
Peraturan di dalam Undang-Undang Pemilu ini esensinya hasil akal-akalan partai politik yang berkombinasi dengan kepentingan oligarki.
Presidential Treshold dijadikan alat untuk mencari uang oleh partai politik, karena calon yang mereka dukung dimintakan uang mahar.
Sedangkan uang mahar didapat calon dari para cukong yang juga punya kepentingan untuk kelancaran bisnis dengan mendompleng kekuasaan politik.
Siklus ini menghasilkan politik uang, yang melahirkan demokrasi kriminal seperti terjadi sekarang.
Partai politik tidak mengedepankan pentingnya integritas dan kapasitas figur calon, yang terpenting bagi mereka adalah “isi tas” (uang) yang diberikan oleh calon.
Pada kenyataannya Presidential Treshold di bawah penguasaan oligarki ini juga jadi alat jegal bagi figur-figur yang memiliki integritas, prestasi, track record, dan memiliki ciri problem solvers untuk memimpin bangsa.
Bagaimana kisah Sukarno naik jadi presiden?
Sukarno-Hatta dipilih jadi presiden dan wakil presiden karena aklamasi, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Aklamasi diusulkan oleh Oto Iskandar Di Nata, yang kemudian disetujui seluruh peserta rapat.
Pembahasan tentang presiden dalam sidang BPUPKI perdebatannya lebih banyak pada persoalan istilah.
Profesor Soepomo yang merupakan salah satu arsitek UUD 1945, misalnya, pada sidang 31 Mei 1945 lebih menekankan pentingnya Kepala Negara memiliki jiwa bersatu dengan rakyat.
Ia tidak mempersoalkan suara-suara sidang yang mengusulkan agar dipakai istilah seperti Paduka Yang Mulia, Adipati, Fuhrer, atau Sri Paduka untuk menyebut Kepala Negara. Yang kemudian penyebutannya disepakati menjadi presiden.
Sementara itu jabatan wapres diperdebatkan berkaitan dengan adanya usul agar dipegang oleh dua atau tiga orang, yang masing-masing mewakili wilayah Indonesia.
Namun perdebatan akhirnya menyepakati posisi wapres dijabat oleh satu orang.
Tentang syarat dan kewajiban presiden, Profesor Soepomo kembali menekankan, presiden harus sanggup memimpin seluruh rakyat yang terdiri dari berbagai golongan masyarakat.
Harus mempersatukan negara dan bangsa, serta mampu menyelenggarakan kehendak rakyat.
Memberikan gestaltung (tata letak) kepada keinsafan keadilan rakyat, karena sehari-hari kedaulatan rakyat dijunjung oleh presiden.
Dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan tanggungjawab, ada di tangan presiden.
[***]