KITA sering mendengar ungkapan: Indonesia negara kaya, kaya dengan sumber daya alam. Semua orang pasti setuju. Indonesia ada minyak dan gas bumi, batubara, nikel, emas, dan banyak mineral lainnya.
Indonesia juga merupakan (salah satu) negara produsen terbesar minyak sawit dan karet. Indonesia juga mempunyai hutan tanaman industri yang luas, menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen kertas terbesar dunia.
Ironi, Indonesia hanya sebagai negara berpendapatan menengah dengan pendapatan per kapita tahun 2019 sekitar 4.000 dolar AS per tahun. Jauh lebih rendah dari negara tetangga seperti Malaysia, Thailand atau Singapore.
Artinya, kebanyakan dari mereka lebih kaya dari rakyat Indonesia. Padahal Malaysia dan Thailand hanya mempunyai sedikit kekayaan alam. Bahkan Singapura tidak ada kekayaan alam sama-sekali.
Yang lebih mengenaskan, sebagian besar penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Menurut Bank Dunia, Indonesia mempunyai 150 juta (56 persen) penduduk miskin pada tahun 2018. Mereka mempunyai pendapatan di bawah 5,5 dolar AS (PPP 2011) per orang per hari, yaitu batas garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia.
Ironi dan mengenaskan.
Indonesia memang diberkahi kekayaan alam. Antara lain, mineral dan batubara (minerba). Tetapi, pendapatan negara dari sektor minerba sangat tidak signifikan. Sangat rendah dibandingkan total pendapatan negara. Sangat rendah untuk dapat membuat rakyat sejahtera.
Padahal sektor minerba merupakan salah satu sektor yang cukup besar. Antara lain, sektor bijih besi, nikel, aluminium, perak, perunggu, emas, batubara, dan banyak mineral lainnya.
Rasio pendapatan minerba terhadap total pendapatan negara hanya sekitar 1 persen hingga 1,5 persen saja. Bahkan rasio pendapatan minerba pada 2015 hanya 0,98 persen: hanya Rp 14,7 triliun dari Rp 1.508 triliun. Sangat rendah.
Meskipun rasio pendapatan negara dari minerba pada 2018 meningkat menjadi 1,58 persen, dengan pendapatan minerba Rp 30,7 triuliun dan pendapatan negara Rp 1,943,7 triliun, secara substansi masih sangat rendah.
Di lain pihak, korporasi pengelola (baca: penguasa) sektor minerba sangat berjaya. Kaya raya. Korporasi-korporasi tersebut berhasil meraup triliunan rupiah dari masyarakat, melalui pasar modal.
Nilai perusahaan (kapitalisasi pasar) korporasi penguasa tambang minerba pada akhir 2018 mencapai Rp 363,8 triliun. Terdiri dari 25 perusahaan tambang batubara dan 10 tambang mineral. Jumlah ini tidak termasuk penguasa tambang minerba raksasa lainnya yang tidak go public di Indonesia, tetapi go public di luar negeri.
Dari jumlah tersebut, hanya ada tiga BUMN dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 73,5 triliun. Namun, sebagian kepemilikan tiga BUMN tersebut juga sudah dikuasai publik.
Korporasi-korporasi pertambangan minerba yang kaya raya tersebut diberi hak pengelolaan pertambangan, melalui kerjasama pengusahaan pertambangan, izin usaha pertambangan atau izin usaha pertambangan khusus.
Pada prakteknya, kerjasama dan izin usaha pertambangan tersebut sangat bebas (liberal) di dalam pengelolaannya. Sehingga terjadi pengalihan (sementara) penguasaan (baca: kepemilikan) kekayaan sumber daya alam minerba dari negara ke pihak pengelola (yang sebagian besar swasta nasional dan asing).
Pengalihan kepemilikan kekayaan minerba ke korporasi pemegang hak pengelolaan terlihat jelas ketika mereka menawarkan sahamnya ke publik _(go public)_ atau ketika melakukan divestasi kepemilikan usahanya sesuai Undang-undang.
Nilai divestasi atau valuasi perusahaan dihitung berdasarkan nilai ekonomis minerba yang terkandung di dalam wilayah usaha pertambangan tersebut, seperti yang terjadi pada kasus divestasi PT Freeport Indonesia.
Di mana pemerintah Indonesia harus mengambil alih dengan nilai komersial, termasuk nilai kandungan mineral di dalamnya yang seharusnya milik negara.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, nampaknya masih sebatas mimpi.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)