PADA pidato Nota Keuangan, kebiasaan kenegaraan menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus, disampaikan bahwa pemerintah mengganggarkan Rp 373,3 triliun untuk pembayaran bunga utang di tahun 2021. Anggaran untuk pembayaran bunga utang tahun depan tersebut meningkat 10,2% dari anggaran tahun 2020 yang sebesar Rp 338,8 triliun.
Sementara besar utang jatuh tempo tahun 2020 adalah Rp 433,4 triliun. Utang jatuh tempo adalah pokok dari utang, yang harus dibayar selain bunga utang. Nilai utang jatuh tempo ini memang seolah “disembunyikan” dari anggaran, tidak pernah disampaikan secara jelas dan tegas, termasuk dalam pidato Nota Keuangan.
Utang jatuh tempo ini “disembunyikan” di dalam komponen pembiayaan utang, bersama sub-komponen pembiayaan defisit dan pembiayaan investasi. Artinya, untuk melunasi utang jatuh tempo, pemerintah mengalokasikannya dari penerbitan surat utang baru, bukan dari pos anggaran. Apakah ini benar? Faktanya tidak demikian.
Hakikatnya sama saja, baik bunga utang maupun utang jatuh tempo sama-sama menjadi kewajiban pemerintah yang harus dibayar dengan pajak rakyat. Pemisahan komponen bunga utang, yang terlihat jelas di anggaran dan dipidatokan, dan komponen utang jatuh tempo yang “tersembunyi” dan tidak pernah dipidatokan, adalah trik dari pemerintah untuk memberi kesan seolah kewajiban utang kita tidak sebesar itu.
Karena bila besaran bunga utang dan utang jatuh tempo tahun 2020 dijumlahkan, maka kewajiban pembayaran utang (debt service) tahun 2020 adalah sebesar Rp 772,2 triliun. Bisa dipastikan kewajiban pembayaran utang merupakan pos terbesar di anggaran, bila tidak dipisahkan oleh pemerintah.
Sekarang kita masuk kepada kemampuan membayar utang. BKF Kementerian Keuangan memproyeksikan pendapatan pajak tahun 2020 adalah sebesar Rp 1.404 triliun (turun dari proyeksi sebelumnya sebesar Rp 1.462 triliun). Maka, untuk melunasi kewajiban pembayaran utang tahun 2020 yang sebesar Rp 772,2 triliun, dikuraslah 55% pendapatan pajak.
Sungguh memrihatinkan, lebih dari separuh (55%) pendapatan pajak habis untuk kewajiban pembayaran utang. Sisa pendapatan pajak (45%) dan pendapatan lainnya (non-pajak) itulah yang kemudian akan digunakan untuk membiayai anggaran rutin dan pembangunan. Dan bila ternyata masih kurang juga, pemerintah harus menerbitkan utang untuk membiayai kekurangannya.
Seiring tren peningkatan pembayaran bunga utang (dari tahun 2020 ke tahun 2021 meningkat 10,2%) akibat tingginya imbal hasil (yield) surat utang pemerintah Indonesia, pendapatan pajak akan semakin terkuras ke depannya. Bila tidak ada kebijakan yang drastis dan cepat, bukan tidak mungkin beberapa tahun lagi kewajiban pembayaran utang dapat menguras ¾ pendapatan pajak kita. Dan akhirnya pada suatu masa nanti, seluruh pendapatan pajak akan habis untuk membayar kewajiban utang. Bila itu yang terjadi, Indonesia sudah benar-benar 100 % terjajah utang.
Dalam kondisi yang genting seperti ini, kebijakan drastis apa yang harus dilakukan? Tentu yang utama adalah renegosiasi utang. Renegosiasi utang dapat dilakukan dengan debt to nature swapt dan debt switching. Debt to nature swapt adalah menukar kewajiban utang (pinjaman) ke negara-negara Barat dengan kewajiban pelestarian hutan.
Jadi pinjaman Indonesia akan diringankan atau dihapuskan oleh Negara Barat bila Indonesia melestarikan hutannya.
Sementara debt switching adalah menukar surat utang bunga tinggi dengan surat utang berbunga lebih rendah. Kebijakan ini sangat memungkinkan, karena tren suku bunga di Negara maju, negaranya para pemain pasar uang terbesar, saat ini sedang mendekati nol dan bahkan negatif.
Kedua kebijakan tersebut sudah pernah dilakukan di masa lalu, dan berhasil. Meskipun memang saat ini untuk melakukan kebijakan-kebijakan drastis di atas, diperlukan pejabat yang berani dan memiliki kemampuan bernegosiasi dengan siapapun, termasuk dengan Negara Maju dan para pemain pasar keuangan global. Bila pejabat keuangan, tim ekonomi pemerintah, masih seperti yang saat ini, jangan coba-coba berharap banyak!
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan