KedaiPena.Com – Tanah merupakan unsur paling penting dalam ekonomi. Tanah merupakan faktor produksi utama. Lebih jauh lagi tanah merupakan unsur utama bagi eksistensi suatu bangsa. Tanpa tanah maka bangsa itu tidak ada. Tanpa tanah maka masyarakatnya akan lenyap dengan sendirinya.
Demikian dikatakan Salamuddin Daeng dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com ditulis Kamis (16/3).
“Dalam filosofi Jawa dikatakan ‘sedumuk batuk senyari bumi’, yang artinya sejengkal tanah dipertahankan sampai mati. Karena tanah adalah eksistensi dan kehormatan. Sehingga tanah tidak boleh direnggut dari rakyat. Sehingga tanah harus dijamin ketersediaan oleh negara bagi seluruh rakyat,” ujarnya.
“Apa yang terjadi dalam era reformasi? Tanah berada dalam penguasaan minoritas. Tanah secara perlahan lahan jatuh dalam genggaman minoritas asing dan segelintir taipan. Tanah berpindah dari negara ke tangan segelintir orang melalui pemberian berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dengan UU negara,” kecewa dia.
Tanah yang dikuasai dalam bentuk hak penguasaan atas tanah oleh asing dan taipan saat ini seluas 178 juta hektar. Seluas 140 juta hektar merupakan wilayah daratan atau sekitar 72 persen dari luas daratan Indonesia. Seluruh tanah tersebut dikuasai oleh perusahaan besar asing dan taipan dalam berbagai bentuk hak penguasaan tanah.
Pemerintah telah mengalokasikan tanah dalam bentuk kontrak kerjasama migas (KKS) seluas 95 juta hektar sebagian besar di darat yakni sebanyak 60 persen dari total KKS atau sekitar 57 juta hektar. Kontrak tambang mineral dan batubara seluas 40 juta hektar.
“Selanjutnya hak penguasaan tanah yang diberikan dalam bentuk ijin perkebunan sawit 13 juta hektar, ijin kehutanan dalam bentuk HPH, HTI dan HTR seluas 30 juta hektar,” sambung dia lagi.
Sebuah perusahaan swasta milik taipan bisa menguasai lahan seluas 2,5 juta hektar menurut versi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan 1,5 juta hektar versi panglima TNI sebagaimana di sebut di majalah Forum Keadilan. Selain itu ada puluhan taipan besar di tanah air dengan skala penguasaan tanah yang sangat luas.
Ketimpangan dalam penguasaan tanah inilah yang seringkali menimbulkan konflik antara masyarakat melawan pengusaha dan pemerintah. Selain itu, hak penguasaan lahan yang sangat luas oleh asing dan taipan telah menimbulkan overlapping atau tumpang tindih, sehingga kasus beberapa kabupaten kota di Indonesia menunjukkan luas ijin untuk berbagai kegiatan investasi telah melebihi luas wilayahnya.
“Sementara lebih dari separuh rakyat Indonesia yang masih hidup dan bekerja di sektor pertanian hanya menguasai lahan sekitar 13 juta hektar yang terbagi  dalam 26 juta rumah tangga petani dengan luas masing masing 0,5 hektar. Dengan demikian setiap petani hanya menguasai lahan rata rata 0,17 juta hektar per petani. Itulah mengapa tidak ada kegiatan usaha tani yang dapat meraih keuntungan dengan luas lahan yang sangat minim tersebut,” jelas dia.
Penguasaan tanah dalam skala yang sangat luas oleh asing dan taipan ini yang menimbulkan keresahan masyarakat, mengingat berdasarkan UU yang berlaku yakni UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa jangka waktu penguasaan tanah oleh swasta bisa selama 95 tahun.
Laporan: Muhammad Hafidh