KedaiPena.Com – Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Sospol), Ubedillah Badhrun mengatakan, ada kecenderungan kecurangan pada pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2017. Hal itu dapat dilihat dari kecenderungan tujuh pola kecurangan pada pilkada serentak 2017.
Pola tersebut pertama, dengan mengakali celah dari kelemahan Daftar Pemilih Tetap (DPT).Celah kelemahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) ada pada fakta bahwa proses E-KTP belum tuntas.
“Ini potensi kecurangan paling halus yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang punya akses ke data penduduk dan data pemilih untuk melakukan manipulasi data,” kata Ubed di Jakarta, Minggu (5/2).
Selain itu, kata Ubed, manipulasi data pemilih bisa saja terjadi melalui mobilisasi ‘pemilih siluman’ dari daerah luar Jakarta atau menggunakan data penduduk yg sudah tidak valid (meninggal, pindah,dan lainnya) atau punya KTP ganda.
“Antisipasinya jika ada warga datang ke TPS membawa KTP tetapi panitia di TPS yang notabene adalah banyak pengurus RT/RW tidak mengenalinya sebagai warga setempat, ini patut dicurigai untuk ditanya kejelasan identitasnya,” jelas dia.
Kedua, lanjut Ubed, dengan mengunakan pola pemilih di banyak tempat dengan modal E-KTP, C 6 (Surat Pemberitahuan Pemungutan Suara kepada Pemilih), dan Surat dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) bahwa yang bersangkutan sudah merekam E-KTP tetapi belum dicetak.
Dengan modal itu mereka bisa ikut memilih dibanyak TPS. Ini terjadi jika tinta pemilu mudah dihapus atau mereka mengelabui dengan menggunakan sarung tangan yang mirip kulit tangan.
“Ketiga politik uang dengan cara menggunakan orang-orang berpengaruh di wilayah TPS setempat (tokoh lokal) untuk mempengaruhi warga mencoblos pasangan tertentu sebelum warga datang ke TPS pada hari pemilihan,” tutur Ubed.
Keempat, tutur dia, dengan pola propaganda Hal itu dilakukan misalnya dengan pengumuman quick count pilkada oleh lembaga survei yang maaf misalnya tidak menggunakan biaya sendiri atau bahkan dari lembaga yang tidak kredibel.
“Kelima Propaganda represif berbasis tuduhan penghapusan program pro rakyat (BPJS, dll) dan sanksi PHK bagi karyawan sebuah perusahaan yang tidak memilih calon tertentu. Ini dilakukan tanpa menggunakan atribut pasangan, baik di dalam perusahaan maupun di lapangan,” tutur dia.
Yang ke enam, tambah Akademisi Universitas Negeri Jakarta, ialah pola manipulasi proses rekapitulasi suara mulai dari TPS, PPS, dan PPK.
Hal ini terjadi umumnya ketika para saksi tidak bisa mengawal dengan tuntas. Tidak jarang terjadi saksi pasangan calon sudah pulang sebelum rekap selesai dan mereka banyak yang tidak punya salinan hasil rekap.
“Yang ketujuh dengan pola inteljen negara demi untuk memenangkan pasangan tertentu dalam pilkada. Polanya bisa menggunakan teknologi atau jaringan manusia,” ungkap dia
“Dan kemudian menggunakan teknologi yang dimiliki inteljen misalnya dengan menyadap komunikasi lawan politik atau tim lawan politik dengan menggunakan teknologi sadap yang paling canggih atau mempengaruhi pelaksana pilkada maupun lembaga pengawas atau mengubah data suara saat komputasi,” pungkas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh