KedaiPena.Com – Ada sekitar 50 mahasiswa yang hilang usai mengikuti demonstrasi di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Hal itu diketahui setelah pihaknya menerima aduan dari berbagai perwakilan mahasiswa.
Demikian disampaikan oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati dalam koferensi pers di kantornya Gedung LBH Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (25/9/2019).
“Datanya bervariasi, yang pasti lebih dari 50 orang sampai 100 orang itu belum bisa diketahui kontaknya oleh teman-temannya,” kata Asfinawati.
Dia menerangkan, saat berlangsung aksi unjuk rasa, kordinator dari masing-masing kampus tak fokus untuk melindungi para mahasiswa yang ikut dalam aksi tersebut.
Hal itu dikarenakan situasi ketika itu memaksa mereka harus menyelamatkan dirinya masing-masing.
“Teman-teman mahasiswa sangat resah sebetulnya, karena mereka kan terpencar-pencar kan. Karena mereka harus bertanggung jawab atas kelompoknya masing-masing,” ujarnya.
Dia pun menduga mahasiswa yang diduga hilang itu sedang menjalani perawatan di rumah sakit setelah mendapat tindakan kekerasan dari aparat kepolisian.
“Karena itu kepada rumah sakit, kepolisian, dan seluruh instansi yang ada di Jakarta khususnya dan daerah lain harus segera membuka akses agar ada kejelasan tentang nasib teman-teman mahasiswa,” kata dia.
Dia berharap kepada aparat kepolsian dan rumah sakit untuk terbuka membeberkan nama-nama yang ditahan maupun menjalani perawatan. Sehingga, tidak menimbulkan kesimpangsiuran informasi yang beredar di masyarakat.
“Teman-teman mahasiswa yang menyuarakan suara rakyat, menyuarakan demi tegaknya konstitusi,” ucapnya.
Sementara itu, Manager Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri menilai tindakan Kapolres Jakarta Pusat Harry Kurniawan saat menangani sekumpulan mahasiswa yang berdemonstrasi di depan Gedung DPR, sangat represif.
Puri menyebut, yang bersangkutan tidak menjalani peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian RI.
Yakni mengendalikan demonstran langsung melakukan tindakan tegas, tanpa ada peringatan atau imbauan terlebih dahulu.
“Kita pertanyakan apa ukuran dari Kapolres Jakarta Pusat sebagai komandan kompi disana yang kemudian mengawal kepolisian dan Brimob untuk mengambil status warna merah, sehingga terjadi aksi penyemprotan water canon dan lemparan gas air mata,” kata Puri.
Dia menyayangkan tindakan yang dilakukan oleh Harry yang memutuskan untuk langsung mengambil tindakan brutal kepada mahasiswa saat melangsungkan aksi demonstrasi di depang gedung parlemen.
“Nah konteks pengendalian massa ini yang terjadi dinamikanya selama dua hari terakhir sejak senin hingga Selasa kemarin itu memang ternyata tidak mampu dikelola oleh kepolisian,” ujarnya.
Menurut dia, langkah yang diambil oleh Harry saat menangani mahasiswa dengan massa aksi 21-22 Mei sangat berbeda. Saat itu, dia sedikit bersabar, dengan melakukan negosiasi ke kordinator, sebelum akhirnya mengambil tindakan represif ke peserta aksi.
“Tapi sepertinya Kapolres Hary tidak mampu kemudian melakukan proses negosiasi kepada para demonstran yang berada di mobil komando tersebut tidak ada misalkan ucapan-ucapan yang persuasif yang dikeluarkan Kapolres hari yang sebagaimana kita lihat beberapa bulan yang lalu kepada kelompok-kelompok yang melakukan aksi yang serupa juga dengan aksi kemarin,” kata dia.
Laporan: Muhammad Hafidh