KedaiPena.Com – Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir diduga mengetahui terjadinya proses mangkrak terhadap 34 PLTU. Pasalnya, saat proyek tersebut berlangsung, Sofyan Basir masih menjabat sebagai direktur utama PT BRI Tbk (Persero).
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean mengatakan, hubungan keterkaitan Sofyan Basir dengan proyek tersebut karena PLTU mangkrak tersebut dibiayai dari APBN murni dan juga pinjaman PLN ke sindikasi perbankan nasional maupun bank asing.
“Sofyan Basir yang sekarang jadi dirut PLN tentu sangat mengetahui hal tersebut karena saat itu dia jadi dirut BRI. Berapa perkiraan kerugian negara atas proyek ini? Perkiraan kami mencapai angka sekitar Rp 4,5 triliun. Angka yang cukup besar,†kata dia di Jakarta, Selasa (15/11).
Ferdinand menjelaskan, apakah akibat mangkraknya proyek tersebut terjadi unsur korupsi, dirinya mempersilahkan aparat penegak hukum menelusurinya.
“Siapa yang bertanggung jawab atas kerugian negara tersebut? tentu bisa ditelusuri siapa pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, panitia pengadaan hingga struktur pengawasan lapangan dan pihak kontraktor,†jelas dia.
Dia kembali menegaskan, tidak sulit menelusuri kasus tersebut, tinggal kemauan dan niat saja. EWI, lanjut Ferdinand, berharap kepada pemerintah agar menjadikan proyek mangkrak ini sebagai studi kegagalan dalam melaksanakan proyek 35 ribu MW.
“Karena potensi mangkraknya proyek 35 ribu MW jauh lebih besar dari 34 PLTU tersebut. Jangan sampai proyek mangkrak ini nanti terjadi juga keprogram 35 ribu MW karena kerugian yang akan kita derita jauh lebih besar hingga ratusan trilliun,†ujar dia.
Ferdinand menjelaskan, proyek 35 ribu MW yang saat ini terus berlangsung, kemungkinan besar hingga 2019 yang selesai dan COD (Comercial Operation Date) maksimum hanya berkisar 15 ribu MW atau sekitar 45 persen dari target.
“Ini perlu diwaspadai karena saat ini hambatan besar ada di kemampuan PLN dalam menyediakan infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi serta pembangunan gardu induk baru untuk penyaluran daya dari pembangkit,†katanya.
Hal ini, ungkap Ferdinand, justru menjadi masalah paling besar, mengingat kemampuan keuangan PLN dan kemampuan keuangan APBN yang tidak mungkin menyediakan dana untuk proyek tersebut yang diperkirakan sekitar Rp 300 triliun dari total tanggung jawab PLN pada proyek 35 ribu MW tersebut.
“Presiden harus segera melakukan evaluasi ketat atas proyek ini. Jangan sampai pembangkit selesai dan siap menyalurkan daya, tapi PLN tidak siap dengan jaringan transmisi distribusi dan gardu induk serta gardu distribusi,†ujarnya.
Ketidaksiapan PLN, kata Ferdinand, nantinya akan mengakibatkan negara wajib membayar denda yang besar yang nilainya tentu trilliunan rupiah setiap bulan. Salah satu contohnya berdasarkan informasi yang didapat adalah transmisi dari Unggaran, Jawa Tengah ke Mandirancan, Jawa Barat.
“Jalur Ungaran-Mandirancan konon butuh tapak transmisi sekitar 1.200-an, namun yang siap lahan hingga saat ini baru sekitar 50-an. Sementara proyek ini awal 2019 kemungkinan akan COD. Ini risikonya jika tidak siap, maka pemerintah akan didenda sekitar Rp 3 triliun per bulan,†jelasnya.
Di satu sisi, sebelumnya Menteri ESDM Ignasius Jonan pun pernah berkomentar, keputusan untuk melanjutkan 34 proyek pembangkit listrik yang mangkrak tersebut pula masih dalam evaluasi PLN bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Gini, itu yang putusan melanjutkan atau tidak tergantung penilaian atau evaluasi PLN. Jadi silakan ditanyakan ke PLN,” kata Jonan di Jakarta, Jumat (11/11).
Audit Forensik
Seperti diketahui, sebanyak 34 proyek PLTU skala kecil di sejumlah daerah di wilayah Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua diketahui mangkrak.
Total nilai investasi 34 pembangkit listrik yang mangkrak tembus mencapai Rp 11,3 triliun. Di satu sisi, pemerintah konon memutuskan akan melanjutkan pembangunan 23 PLTU sementara 11 proyek diterminasi.
Ferdinand Hutahaean mengatakan, mangkraknya PLTU tersebut bisa dipastikan berdampak terhadap kerugian negara atas proyek tersebut.
“Namun apakah kerugian negara tersebut ada unsur korupsinya? Maka perlu dilakukan audit investigasi terhadap seluruh proyek dan tidak hanya terbatas pada 11 proyek yang diterminasi,†kata dia.
Menurut Ferdinand, auditor negara perlu segera melakukan audit investigasi menyeluruh untuk mengetahui apa penyebab mangkraknya proyek tersebut.
Audit harus dimulai dari tahap perencanaan, proses prakualufikasi tender, penawaran harga, evaluasi penawaran, penunjukan penenang tender, proses kontrak, tahap awal pelaksanaan, perizinan, aproval speksifikasi teknis, hingga buku harian lapangan yang mencatat semua kondisi harian dan pengawasan.
Penjelasan Ferdinand, ada tiga hal utama yang sangat menentukan dalam kegagalan proyek ini. Pertama, adalah tahap perencanaan yang tidak matang dan tidak sesuai kondisi lapangan.
Kedua, adalah ketidak mampuan keuangan kontraktor dan ketiga mekanisme pengawasan yang tidak berjalan sesuai ketentuan. Sehingga kedua belah pihak yaitu kontraktor dan pengawasan sama-sama punya andil dalam kegagalan proyek ini.
“Perencanaan yang tidak matang mengakibatkan perhitungan harga dan biaya yang meleset sehingga mengakibatkan ketidak cukupan biaya dalam pelaksanaan. Ini masalah pokok yang kemudian berdampak terus dalam pelaksanaan,†jelas dia.
Faktor ketidak cermatan dalam perencanaan, imbuh Ferdinand, ditambah dengan ketidak mampuan keuangan kontraktor menambah masalah tersendiri yang akibatnya adalah ketidak mampuan bekerja dilapangan. Ketiga, mekanisme pengawasan yang tidak berjalan sesuai ketentuan turut andil atas mangkraknya 34 PLTU ini.
Ferdinand berpendapat, pada saat awal pelaksanaan tentu ada waktu pelaksanaan (time schedulle) yang disepakati oleh kedua belah pihak dengan mencatat progres harian, mingguan dan bulanan.
Apabila ada depresiasi 10 persen dari target progres, terang dia, semestinya kontraktor mendapat surat teguran yang tentu hingga pemutusan kontrak apabila surat teguran hingga peringatan tidak diselesaikan.
“Seluruh mekanisme pengawasan ini ada aturan dan ketentuannya termasuk dalam keputusan presiden maupun keputusan direksi PLN. Perlu ditelusuri adalah mengapa ada pembiaran hingga proyek ini mangkrak? Kami menduga bahwa di dalam tahapan pembiaran itulah patut diduga terjadi suap. Ini yang harus ditelusuri lebih jauh,†ujar dia.
Laporan: Rustan Affandy