Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
2014: Rakyat Melawan Prabowo
Posisi (calon presiden) Prabowo di pilpres 2014 sangat kuat. Prabowo didukung 7 partai politik, terdiri dari 5 partai koalisi parlemen (Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP), 1 partai non-parlemen (PBB), dan satu partai non-koalisi parlemen, yaitu Demokrat. Mungkin untuk menunjukkan SBY netral.
Total suara partai pendukung Prabowo di pemilu (pemilihan legislatif) 2014, termasuk Demokrat, mencapai 59,1 persen. Sangat meyakinkan. Sedangkan Jokowi hanya didukung 3 partai koalisi parlemen (PDIP, PKB dan Nasdem), dan 2 partai non parlemen (Hanura, PKPI), dengan total perolehan suara hanya 40,9 persen.
Prabowo unggul telak, 59,1 persen versus 40,9 persen. Tetapi, ternyata hasil pilpres mengecewakan. Prabowo kalah. Hanya memperoleh 46,85 persen suara. Sedangkan Jokowi memperoleh 53,15 persen suara.
Ternyata, banyak pemilih partai pendukung Prabowo tidak memilih Prabowo. Mereka malah mencoblos Jokowi. Suara Prabowo minus 12,25 persen, yaitu selisih suara partai pendukung (59,1 persen) dengan suara yang mencoblos Prabowo (46,85 persen).
Anjloknya suara Prabowo yang sangat tajam menunjukkan masyarakat ketika itu lebih memilih Jokowi yang dipropagandakan sebagai representasi tonggak baru demokrasi Indonesia, di mana rakyat jelata dan sederhana bisa menjadi calon presiden.
Di beberapa provinsi, defisit suara Prabowo dibandingkan suara partai pendukungnya lebih telak lagi. Di Sulawesi Selatan, total suara partai pendukung Prabowo mencapai 73,3 persen. Tetapi, total suara untuk Prabowo hanya 28,6 persen. Artinya, suara untuk Prabowo minus 44,7 persen dibandingkan suara partai pendukung. Setara 1,9 juta suara. Apakah karena faktor Jusuf Kalla sebagai cawapres Jokowi? Tidak juga.
Karena hampir di seluruh provinsi (31 dari 33 provinsi), suara Prabowo berada di bawah perolehan suara partai pendukung. Suara Prabowo hanya “surplus” di dua provinsi, Sumatra Barat dan Nusa Tenggara Barat.
Di Jawa Tengah, perolehan suara partai pendukung Prabowo mencapai 52,1 persen. Tetapi, yang mencoblos Prabowo hanya 33,4 persen. Minus 18,8 persen. Setara 3,65 juta suara. Sangat signifikan.
Secara keseluruhan, Jokowi menang di 23 provinsi dan Prabowo di 10 provinsi. Masyarakat telah menunjukkan sikapnya melawan Prabowo.
Jokowi Konsolidasi Kekuatan: Mengkhianati Suara Rakyat
Jokowi menang pilpres 2014, tapi tidak aman. Jumlah kursi partai koalisi pendukung Jokowi di DPR hanya 37 persen. Terdiri dari PDIP (19,5 persen), PKB (8,4 persen), Nasdem (6,3 persen) dan Hanura (2,9 persen).
Jokowi kemudian bermanuver. Tiga partai oposisi lompat pagar, masuk koalisi Jokowi. Apalagi kalau bukan untuk mengejar jabatan? PPP bergabung Koalisi Jokowi Oktober 2014, PAN sejak September 2015, dan Golkar Januari 2016.
Peta kekuatan politik berubah total. Koalisi Jokowi menguasai parlemen dengan mutlak. Menguasai 68,9 persen kursi. Mereka bisa berbuat sesukanya. Menjadi tirani. Antara lain, menetapkan peraturan dan UU yang tidak pro-rakyat, termasuk melanggar konstitusi, mengkhianati rakyat. Misalnya, kebijakan pengampunan pajak, atau pelemahan KPK.
2019: Rakyat Melawan Jokowi dan Kroni
Golkar, PAN dan PPP yang lompat pagar dan khianati suara rakyat mendapat balasan. Perolehan suara Golkar turun dari 14,8 persen menjadi 12,3 persen di pemilu 2019. PPP turun lebih parah lagi, dari 6,5 persen menjadi 4,5 persen. PAN juga turun dari 7,6 persen menjadi 6,8 persen. meskipun PAN sempat keluar dari Koalisi Jokowi pada Agustus 2018, dan beralih mendukung Prabowo di Pilpres 2019.
Suara Golkar di sejumlah provinsi anti-Jokowi anjlok. Suara Golkar di Sumatra Barat anjlok 9,36 persen, yaitu dari 16,76 persen (2014) menjadi 7,41 persen (2019): turun 55,8 persen = 9,3 persen / 16,76 persen x 100 persen. Suara Golkar di Jakarta anjlok 53,36 persen, Jawa Barat anjlok 20,9 persen, Sumatra Utara anjlok 20,09 persen, Banten anjlok 12,78 persen.
Sebaliknya, suara Gerindra dan PKS yang dianggap sebagai kekuatan utama melawan rezim mengalami kenaikan tajam di beberapa provinsi. Suara Gerindra di Jawa Barat naik 57,6 persen dibandingkan perolehan suara 2014, di Nusa Tenggara Barat naik 52 persen, di Sumatra Barat naik 42 persen. Di tiga provinsi tersebut, dan Riau, perolehan suara Gerindra pada 2019 merupakan yang tertinggi dari semua partai.
Semua itu menunjukkan rakyat menghargai dan berbalik mendukung Prabowo di pilpres 2019. Rakyat menghargai peran oposisi (2014-2019) dan melawan pemerintah yang tidak adil kepada mayoritas masyarakat, terutama kelompok bawah dan miskin.
Di beberapa provinsi di mana rakyatnya secara tegas melawan kebijakan Jokowi, suara Prabowo di pilpres 2019 melejit, melebihi perolehan suara partai pendukung. Meskipun secara keseluruhan Prabowo masih kalah.
Suara Prabowo mencapai 44,5 persen, dengan didukung hanya sekitar 36 persen suara partai.
Berdasarkan provinsi, suara Prabowo di Aceh naik dari 54,39 persen (2014) menjadi 85,59 persen (2019), di Sulawesi Selatan juga melonjak dari 28,57 persen (2014) menjadi 57,02 persen (2019), di Sulawesi Tenggara naik 15 persen menjadi 60 persen, di Kalimantan Selatan naik 14 persen menjadi 64 persen, di Riau naik 11 persen menjadi 61 persen, di Sumatra Barat naik 9 persen menjadi 86 persen.
Kenaikan suara Prabowo di pilpres 2019 menegaskan, bahwa memilih presiden independen dari memilih partai. Masyarakat bahkan tidak segan-segan memberi hukuman kepada partai politik yang berperilaku tidak adil dan bermental pengkhianat.
2024: Rakyat Lanjut Melawan Tirani
Partai mana yang akan dihukum rakyat, dan capres mana yang akan diunggulkan rakyat, di pemilu dan pilpres 2024 ini?
[***]