BEBERAPA hari lalu kita dikagetkan dengan cuitan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang mengatakan dia mundur dari pencalonan diri untuk calon Gubernur  DKI setelah bertemu Presiden Jokowi. Pertemuan dengan Jokowi ini, pertama Jokowi minta dia untuk tidak bersaing dengan Ahok. Kedua, menasehati dia untuk tidak meninggalkan sebuah periode jabatan di tengah jalan. Ketiga, meminta dia untuk menjadi Gubernur Jabar nantinya.
‎
Tentu saja peristiwa ini menarik. Pertama, sebagian orang berpikir dan berharap bahwa Ridwan Kamil (RK) dapat menandingi Ahok yang sampai saat ini terlalu diunggulkan. Kedua, metoda pengambilan keputusan ini berbeda dengan adanya apa yang sudah pakem dalam politik, yakni keputusan kader politik biasanya dilakukan setelah berkonsultasi dengan ketua umum partai.
Keganjilan ini tentu ‎menarik perhatian kita. Pertama, kita tentu berpikir bahwa hubungan Ridwan Kamil dan Jokowi selayaknya hubungan kader partai dengan ketua partai. Dalam hal ini Jokowi adalah ketuanya. Pikiran lain sulit dipahami, sebab, eksistensi RK dan Jokowi sebenarnya sosok manusia yang saat ini merupakan pelaksana (eksekutif) dari sebuah pemerintahan dan semua biaya hidup serta transportasinya ditanggung negara. Lalu benarkah ada partai Jokowi?
Partai Jokowi‎
Partai Jokowi bukanlah partai resmi yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Partai di sini adalah sebuah institusi non formal namun mempunyai kemampuan mengimbangi  pengaruh partai formal dalam pengambilan keputusan dan Jokowi sebagai centrumnya.Â
Kasus pilkada DKI Jakarta adalah salah satunya. Posisi Ahok sebagai calon gubernur DKI2017 merupakan produk Partai Jokowi. Di mana keputusan Ahok tidak tunduk pada keputusan partai-partai politik. Bahkan, partai ini berusaha mempengaruhi, seperti RK, siapa-siapa  yang harus dan tidak harus masuk dalam kontestasi.
‎
Berbeda dengan spekulasi dan keinginan Megawati bahwa Jokowi hanyalah petugas partai PDIP, ternyata saat ini Jokowi tidak demikian. Jokowi tidak perlu mendengar Megawati untuk persoalan-persoalan yang dianggap penting, seperti penentuan calon gubernur DKI. Keputusan Jokowi untuk mendukung Ahok dalam pertarungan pilkada DKI adalah keputusan Partai Jokowi, bukan keputusan PDIP.
Ben Anderson vs Sukarno
Langsung setelah pertemuan dengan Jokowi, Ridwan Kamil melemparkan visi tentang Indonesia. RK merujuk pada pemikiran Ben Anderson bahwa Indonesia adalah sebuah rekayasa sosial yang belum selesai, sebuah imagined nation. Dan bahkan RK mengatakan bahwa bangsa ini mempunyai roots di luar Indonesia, yakni Taiwan dan sekitarnya. Sehingga RK meminta bangsa Indonesia tidak mempertentangkan ras yang bertarung dalam pilkada DKI. Sebab, tidak ada ras asli Indonesia.
Mengutip Ben, tentu saja penting dalam karya-karya Intelektual. Namun, apakah RK sebagai sosok politik dari Partai Jokowi sedang melakukan tawaran ilmiah tentang siapa dan apakah bangsa Indonesia? Apakah itu sebuah visi bangsa dari Partai Jokowi? Tentu perlu kita dengar lebih jauh nantinya.
Berbeda dengan visi kebangsaan Ridwan Kamil, Bung Karno memberikan tesis lain tentang bangsa Indonesia. Menurut Bung Karno, siapa bangsa Indonesia dan bagaimana identitas ini ditemukannya selama pencarian identitas di masa kolonial sudah terukir dalam sejarah. Bung Karno, dan tentu saja dengan Bung Hatta serta founding fathers lainnya mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa asli yang bermetamorfosis dari bangsa-bangsa dalam nusantara yang melakukan sumpah pemuda 28 oktober 1928. Pengidentifikasian ini terjadi bersamaan dengan masa perjuangan perlawanan terhadap kolonialisme di seluruh penjuru dunia saat itu.
Sebuah bangsa, menurut Bung Karno, berakar pada suku bangsa yang ada di dalam bangsa dan sejarah bangsanya. Oleh karenanya Bung Karno dkk, membedakan bangsa Indonesia, yang disebut inlanders, dengan bangsa Belanda, Eropa lainnya, dan timur asing. Dan perjuangan Bung Karno adalah kemerdekaan dan mengangkat harkat kaum inlanders ini.
Apakah visi Ridwan Kamil tentang kebangsaan ini, yang diungkapkannya setelah mendapat petunjuk Jokowi? Tentu kita akan lihat lagi nantinya. Yang jelas baru sekali ini Ridwan Kamil menyampaikan visi kebangsaannya. Sebuah visi yang bertentangan dengan Bung Karno.Â
‎
Partai Petuga‎s
‎
Membayangkan sosok Jokowi sebagai petugas partai adalah sesat pikir. Megawati yang memberi julukan ini sedang diambang senja. Sementara Jokowi berada dalam tahta.
‎
Jokowi saat ini terlihat sudah menghimpun sosok sosok loyal baik yang mempunyai afiliasi partai maupun tidak. Sebut saja seperti Luhut Panjaitan, Rizal Ramli, Pramono Anung, Teten Masduki, Ahok, dll merupakan pentolan-pentolan yang bekerja keras untuk eksistensi Jokowi. Mereka tidak dikontrol oleh partai politik pengusungya. Ditambah lagi jaringan Jokowi lovers yang sudah sekian lama mendambakan adanya partai baru yang didirikan Jokowi.
‎
Alih alih pendeskriditkan Jokowi sebagai petugas partai, situasi yang terlihat saat ini adalah Partai Petugas, yakni sebuah kelompok yang didominasi atau diisi petugas negara atau pejabat negara, bersama Jokowi membangun masa depannya sendiri. Tercermin dari Ridwan Kamil dan sikap politiknya itu.
Sampai sejauh mana Jokowi dan Partai Jokowi ini mampu memperbesar kekuatan dan pengaruh dalam percaturan politik Indonesia. Tentu akan terlihat, salah satunya dalam kekuatannya mempertahankan kekuasaan di DKI Jakarta. Sementara yang lainnya, tentu cara bagaimana Jokowi mampu mengontrol kekuasaannya tidak bergantung pada partai-partai politik yang ada.‎ (***)
‎
Ditulis oleh Dr Syahganda Nainggolan (Asian Institute for Information and Development Studies)‎