Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
VAN Deventer melukiskan kelahiran
Budi Utomo seperti “putri insulinde yang terbangun dari tidur”.
Meski waktu itu kelas menengah status quo yang umumnya priyayi feodal meledeknya sebagai Budi Ulo alias Budi Buruk.
Budi Utomo menginspirasi lahirnya Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Perkumpulan Kaum Betawi, Timorsch Verbond, Paguyuban Pasundan, Jong Ambon, dan seterusnya.
Darinya muncul nama-nama yang menjadi antitesa dari tokoh-tokoh feodal kala itu, yang ber-mindset kolot, anti perubahan, pro kolonial, berwatak boneka, dan penjilat.
Mereka adalah tokoh-tokoh pembawa perubahan seperti Hatta, Mohamad Husni Thamrin, Otto Iskandar Dinata, Latuharhary, Leimena, Sukarno, Samuel Ratulangie, dan banyak lagi.
Waktu Perang Dunia I meletus (1914-1918) Budi Utomo mengusulkan pembentukan milisi yang direkrut dari kalangan bumiputra untuk kepentingan indie weerbaar atau pertahanan Hindia.
Walaupun dicemooh oleh kelompok status quo, mereka membawa misi ini dengan menemui Ratu di Belanda.
Tuntutan ini, meski ditolak, akhirnya mendorong lahirnya Volksraad (1918) di Hindia Belanda.
Volksraad dijadikan sarana perjuangan oleh kalangan tokoh pergerakan yang memilih jalan kooperatif. Sedangkan di luar jalur itu terdapat golongan non-kooperatif.
Merekalah yang dalam bahasa Belanda dikatakan sebagai stormram, atau generasi pendobrak.
Jalan yang mereka tempuh bukanlah jalan pencitraan atau jalan lembaga-lembaga survei seperti sekarang, yang karena berbayar, nama-nama mereka diangkat sebagai unggulan demi pembentukan opini publik melalui media massa, dengan basis pura-pura merakyat dan rating popularitas yang dibikin setara dengan selebriti.
Para stormram (generasi pendobrak) ini umumnya adalah tokoh-tokoh erudisi (berpengetahuan luas) yang menempatkan diri sebagai pengemban mission sacre (tugas mulia) memerdekakan bangsa dari penjajahan dan penindasan.
Indonesia hari ini, dalam momentum 114 tahun Kebangkitan Nasional, yang diperingati 20 Mei mendatang sebagai hari kelahiran Budi Utomo, sesungguhnya membutuhkan antitesa dari pemimpin boneka yang hanya mengandalkan pencitraan dan oligarki.
Antitesa tersebut mencakup misi kepemimpinan, content, style, gestures, leadership, serta visi ke-Indonesia-an yang mampu membawa negeri ini mengejar berbagai ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain.
Sosok antitesa dari pemimpin boneka oleh banyak kalangan disebut ada pada diri tokoh nasional Dr Rizal Ramli, seiring dengan adanya kebutuhan masyarakat yang menginginkan pemimpin yang cerdas.
Standar kepemimpinan di era 114 tahun yang lalu tatkala Budi Utomo didirikan juga bertumpu pada integritas, track record, keberpihakan yang kuat kepada mayoritas rakyat dan kemampuan problem solver.
Ciri ini nyatanya melekat pula pada diri Rizal Ramli.
Sebagai tokoh nasional ia telah menempuh Via Dolorosa, ialah jalan kepemimpinan yang tak mudah, yang dilalui dengan proses pembuktian keberpihakannya kepada mayoritas rakyat negeri ini.
Jalan itu ditempuhnya sebagai seorang anak yatim piatu sejak berusia 6 tahun.
Waktu mahasiswa di usia belia secara berturut-turut ia memimpin Gerakan Anti Kebodohan (1976), memimpin aksi mahasiswa menentang otoritarianisme Soeharto dan menyusun Buku Putih perlawanan (1978), yang berbuntut dipenjarakan selama satu setengah tahun di penjara Sukamiskin.
Kemudian menjadi pejabat tinggi negara di era Presiden Gus Dur dengan berbagai prestasi dan reputasi yang memihak kepentingan mayoritas rakyat.
Sebelumnya ia memimpin lembaga pemikiran ekonomi, Econit, yang dengan terobosannya sebagai intelektual secara berani dan konsisten menyatakan kebenaran dan menyuarakan ketimpangan-ketimpangan ekonomi yang terjadi.
Di era penguasa boneka yang tunduk pada kepentingan oligarki dan Peng-peng (penguasa merangkap pengusaha) pengabdiannya kepada mayoritas rakyat sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya dipecundangi melalui reshuffle atas perintah oligarki dan Peng-peng yang kepentingan bisnisnya terganggu.
The path of history often shows the values of truth, kata peribahasa Inggris, jalan sejarah seringkali menunjukkan nilai-nilai kebenaran.
Pada momentum 114 tahun Kebangkitan Nasional ini kita pun masih dapat menemukan nilai-nilai kebenaran itu, melalui sosok antitesa dari penguasa boneka.
Rizal Ramli adalah antitesa Jokowi. Ia dibutuhkan untuk memimpin Indonesia keluar dari era Kolobendu, yaitu era kalang kabut seperti hari ini, era kebangkrutan ekonomi, dan kehancuran-kehancuran di sektor lainnya, dimana bangsa dan negeri ini di dalam pergaulan dunia semakin direndahkan, akibat perbuatan tolol dan lancung penguasanya.
[***]