KedaiPena.Com – Presiden Jokowi diminta konsisten dengan pernyataannya pada pertengahan Mei lalu yang menyebut TWK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal tersebut merupakan satu dari 10 alasam Presiden Jokowi harus bersikap terkait polemik tes wasasan kebangsaan yang disampaikan oleh Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
“Bahkan saat itu Presiden turut mengutip putusan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar hukum,” kata
kata Peneliti ICW Kurnia dalam keterangan tertulis, Kamis (23/9/2021).
Kedua, Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam birokrasi. Dalam Pasal 3 PP 17/2020 secara tegas menyebutkan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang mengangkat PNS.
“Maka dari itu, dengan melandaskan temuan ORI dan Komnas HAM, Presiden dapat mengambil alih kewenangan SekJen KPK untuk melakukan pengangkatan terhadap 56 pegawai karena terbukti maladministrasi dan melanggar HAM,” ujarnya.
Kemudian, Presiden selaku pihak eksekutif merupakan atasan KPK berdasarkan perubahan UU 30/2002. Dalam Pasal 3 UU 19/2019 telah meletakkan KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, menurut Kurnia, segala persoalan yang berkaitan dengan ranah administrasi mewajibkan Presiden untuk bertindak.
“Dalam hal ini, polemik TWK berada dalam ranah administrasi kepegawaian. Jadi, tidak salah jika kemudian masyarakat mendesak agar Presiden segera mengeluarkan sikap untuk menyelesaikan permasalahan di tubuh KPK,” bebernya.
Alasan keempat, kondisi pemberantasan korupsi kian mengkhawatirkan. Akhir Januari lalu Transparency International merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sejumlah negara, salah satunya Indonesia. Faktanya, peringkat maupun skor Indonesia anjlok. Untuk peringkat, turun dari 85 menjadi 102. Sedangkan skor, merosot tajam tiga poin menjadi 37.
“Maka dari itu, dengan kondisi KPK hari ini, jika tidak ada tindakan konkret dari Presiden, bukan tidak mungkin IPK Indonesia akan semakin suram pada tahun mendatang,” kata Kurnia.
Selanjutnya, rekomendasi putusan Mahkamah Agung (MA) terkait uji materi Peraturan KPK atau PerKom 1/2021. Putusan MA nomor 26 P/HUM/2021, tepatnya poin dua pertimbangan hakim secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa tindak lanjut dari hasil asesmen TWK menjadi kewenangan pemerintah.
“Maka dari itu, tindakan Pimpinan KPK yang memutuskan pemberhentian pegawai pada akhir September nanti tidak berdasar. Sebab, keputusan itu semestinya berada pada ranah pemerintah. Jadi, dalam hal ini, Presiden menjadi pihak yang paling tepat untuk menyikapi polemik TWK KPK,” tuturnya.
Alasan keenam, kewajiban untuk menunaikan janji politik 2014 dan 2019. Saat kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Jokowi berulang kali mengucapkan janji untuk memperkuat KPK. Namun, hingga saat ini realisasi akan janji tersebut belum pernah terjadi.
“Maka dari itu, masyarakat menunut kembali dalam isu TWK KPK agar Joko Widodo menunaikan janji politiknya,” imbuhnya.
Alasan ketujuh, Presiden wajib menjalankan rekomendasi Ombdusman RI dan Komnas HAM.
Pada tanggal 16 Agustus 2021, Komnas HAM telah memaparkan hasil pemantauannya terhadap proses asesmen TWK KPK. Dalam temuannya, Komnas HAM mengonfirmasi adanya pelanggaran HAM saat KPK menyelenggarakan proses alih status kepegawaian.
“Dua di antaranya, pertanyaan bernuansa merendahkan martabat dan praktik stigmatisasi yang dialami oleh pegawai KPK. Begitu pula Ombudsman RI, pada pekan lalu lembaga tersebut juga sudah menyerahkan rekomendasi kepada Presiden terkait dengan TWK KPK,” kata Kurnia.
Jika Komnas HAM menemukan pelanggaran HAM, maka lanjut Kurnia, Ombudsman menegaskan poin maladministrasi dalam proses penyelenggaraan TWK di KPK. Atas dasar itu, rekomendasi dua lembaga tersebut bermuara pada tindakan Presiden.
“Sehingga, sudah selayaknya Presiden mengikuti rekomendasi Komnas HAM maupun ORI untuk mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN,” ujarnya.
Alasan selanjutnya, tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XVII/2019. Diketahui, putusan MK terkait revisi UU KPK sudah menegaskan bahwa proses pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh merugikan hak-hak pegawai. Menurut Kurnia, dengan diberhentikannya 56 pegawai, semakin jelas bahwa langkah Pimpinan KPK telah melenceng dan mengabaikan putusan MK.
“Untuk itu, Presiden harus mengoreksi kebijakan Pimpinan KPK tersebut dengan melantik 56 pegawai menjadi ASN,” imbuhnya.
Kemudian alasan kesembilan yakni pembangkangan yang dilakukan oleh Pimpinan KPK. Diketahui satu pekan setelah Presiden bersikap, Pimpinan KPK memutuskan untuk memberhentikan 75 pegawai pada 25 Mei 2021 yang lalu.
Kurnia menilai, sikap ini merupakan pembangkangan Pimpinan KPK terhadap instruksi atau arahan Presiden tentang kelanjutan TWK KPK. Jika Presiden tidak segera bersikap, kata Kurnia, maka marwah Presiden telah runtuh karena instruksinya diabaikan begitu saja oleh Pimpinan KPK.
Alasa terakhir, menghentikan kontroversi Pimpinan KPK. Kurnia meyakini, Presiden memahami bahwa KPK kini berada pada ambang batas kehancuran. Terutama akibat tindakan Firli Bahuri Cs yang selalu menimbulkan kontroversi dan minim akan prestasi.
“Misalnya, kualitas penindakan yang buruk, pelanggaran etik, dan terakhir kontroversi penyelenggaraan TWK KPK. Sebagai pihak yang memilih Pimpinan KPK, Presiden punya tanggungjawab untuk mencegah praktik kesewenang-wenangan mereka,” pungkas Kurnia.
Laporan: Muhammad Hafidh