ADA kabar ‘kecil’ dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Kepala Dinas Pariwisata Ekonomi dan Kreatif Provinsi NTT Marius Ardu Jelamu, mengatakan jumlah turis yang berkunjung ke provinsi NTT sepanjang 2016 mencapai 1 juta orang.
Maaf, saya sengaja menyebut berita ini sebagai ‘kabar kecil’. Bukan bermaksud menafikan peristiwa menggembirakan ini. Tidak, sama sekali tidak. Kalau saya menambahkan kata ‘kecil’ di belakang kabar tadi, itu karena saat ini media cetak dan online kita tengah dijejali berita seputar hiruk-pikuk Pilkada serentak di ratusan kabupaten/kota dan provinsi, pada 15 Februari lusa.
Dan, tentu saja, yang paling menyedot perhatian adalah Pilkada DKI karena ditaburi banyak kontroversi seputar kandidat petahana. Maklum, setelah masa cuti kampanye selesai yang bersangkutan kembali menjadi Gubernur kendati berstatus terdakwa. Padahal, UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah pasal 83, jelas-jelas menyebutkan, pejabat kepada daerah yang berstatus terdakwa dengan ancaman hukuman lima tahun harus diberhentikan sementara.
Namun Mendagri Tjahjo Kumolo tetap mengembalikan jabatan Basuki Tjahja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sudah begitu, Presiden Jokowi pun bersikap adem-ayem, tanpa secuil pun komentar, apalagi teguran kepada Tjahjo. Padahal, sejumlah pakar hukum tata Negara menyebutkan apa yang dilakukan Mendagri adalah pelanggaran UU. Aktivis 1978 Sjafril Sofjan bahkan menyebut dengan sikap bercuek-ria tersebut, Jokowi ikut terdampak sebagai pelanggar konstitusi.
Tapi, sudahlah. Toh kekuasaan kini ada dalam genggaman mereka. Suka-suka merekalah. Cuma satu hal saja yang perlu selalu mereka ingat, bahwa tidak ada kekuasaan yang lestari. Pada saatnya mereka akan selesai juga. Entah karena dicopot, habis masa jabatan, mati eh meninggal, atau, karena ditumbangkan oleh rakyat yang marah! Ups, nanti dituduh makar, deh…
Jumlah turis melonjak
Kembali ke jumlah 1 juta pelancong yang mampir ke NTT tadi. Ada hal menarik dari fakta kali ini. Pasalnya, dalam sejarah pariwisata nasional, khususnya NTT, jumlah turis lokal dan mancanegara yang berkunjung ke sana nyaris tidak pernah bisa beringsut jauh dari 500.000 orang. Pada 2015, misalnya, turis domestic yang datang sebanyak 441.000 orang. Sedangkan wisatawan mancanegara alias wisman berjumlah 60.000 orang.
Pada 2016, angka-angka itu melonjak hampir 100% lebih. Jumlah pelancong lokal naik jadi 832.000. Sedangkan pelancong asing terbang 100% lebih, ke titik 140.000 orang. Sungguh, ini ada loncatan angka-angka yang jauh di atas kategori biasa-biasa saja.
Gerangan apakah penyebabnya? Rahasia dari sukes besar ini bermula pada Agustus 2015 silam. Saat itu, Presiden Jokowi merombak sejumlah anggota kabinetnya. Dan, Rizal Ramli didapuk menjadi Menteri Koordinator Maritim menggantikan Indroyono Susilo. Kemenko ini membawahi empat kementerian, yaitu Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), Kelautan dan Perikanan, Perhubungan, dan Pariwisata.
Nah, Ekonom yang dikenal bertangan dingin itu melakukan sejumlah terobosan di sektor pariwisata. Antara lain, dia menetapkan dan menggenjot 10 destinasi utama. Alasannya sederhana saja. Selama ini anggaran pariwisata disebar ke puluhan bahkan ratusan daerah tujuan wisata. Akibatnya, masing-masing hanya memperoleh alokasi anggaran yang kecil, nyaris tidak berdampak.
Itulah yang menjelaskan, mengapa dunia hanya mengenal Bali dan tidak daerah lain. Padahal, soal kemolekan alam dan budaya, mereka tidak kalah dibanding Bali. Paling tidak, masing-masing lokasi punya potensi dan keunikan yang mampu menjadi magnet bagi wisatawan.
Belajar dari hal itu, RR, begitu Rizal Ramli dia biasa disapa, memutuskan 10 lokasi wisata prioritas. Mereka antara lain, Danau Toba (Sumatera Utara), Bromo (Jawa Timur), Mandalika (NTB), Morotai (Maluku), Tanjung Lesung (Banten), dan Labuhan Bajo (Flores, NTT). Empat destinasi lainnya adalah Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Bangka Belitung (Babel), dan Yogyakarta.
Mantan anggota panel ahli ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bersama dua pememang nobel itu tidak sekadar melemparkan ide kosong. Dia juga emoh duduk manis sambil berharap para menteri di bawah koordinasinya bekerja.
Pada tahap awal, Rizal Ramli mengalokasikan dana Rp39 triliun untuk memoles ke-10 destinasi utama tersebut. Dana tersebut bersumber dari, Kementerian Pariwisata, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Perhubungan. Bahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pun terlibat dengan sangat antusias.
Bukan hanya itu. Dengan jaringan internasionalnya yang luas, RR berhasil menggaet pinjaman senilai US$3,8 miliar sampai 2019. Duit superjumbo itu kelak digunakan untuk memompa pembangunan infrastruktur dan sarana di 10 tujuan wisata prioritas tadi. Sayang, nasib dana tersebut jadi tidak jelas paska dia terpental dari kabinet pada Juli 2016.
Event internasional
Kunjungan 1 juta wisatawan ke NTT adalah buah dari program terobosan yang Rizal Ramli gulirkan setahun silam. Pariwisata, lanjut dia, bukanlah sekadar menjual pesona alam. Ia adalah imajinasi. apa yang ada di benak wisawatan tentang Coliseum di Roma? Imajinasi itulah yang berusaha digali kembali untuk Dana Toba dan lainnya untuk menggaet para pelancong.
Selain itu, pariwisata juga harus diisi dengan beragam event yang menarik, dan tentu saja, berkelas. Untuk NTT, digelarlah Tour de Flores 2016, satu ajang balap sepeda internasional. Sedikitnya, ada 200 atlet internasional, 20 atlet nasional, dan 10 atlet lokal yang menjadi peserta.
Asal tahu saja, ajang balap sepeda internasional ini, bukan hanya yang pertama bagi Nusa Tenggara Timur, tapi juga merupakan yang pertama bagi kawasan timur Indonesia. Dalam konteks kemaritiman dan pariwisata, Tour de Flores 2016 jelas sebuah terobosan kreatif guna membuka mata dunia bahwa Nusa Tenggara Timur adalah destinasi istimewa.
Hebatnya lagi, perhelatan akbar ini hanya dipersiapkan selama enam bulan. Padahal normalnya perlu waktu sekitar dua tahun.

Sebagai hajatan kelas dunia, Tour de Flores 2016 jelas memberi dampak luas bagi NTT. Ia menjadi kampanye dan publisitas besar pariwisata Flores khususnya dan NTT pada umumnya ke tataran global.
Para pebalap internasional akan berfoto dan berselfi ria. Lalu mereka mem-posting foto-foto itu ke berbagai akun medsosnya. Face book, instagram, tweeter, dan lainnya. Seperti diketahui, jumlah follower mereka bisa jutaan. Jelas ini jadi promosi dan iklan gratis. Jika dihitung ad-value dan PR value-nya, nilainya bisa ratusan ribu bahkan jutaan dolar.
Sport tourism memang sangat efektif dalam mempromosikan daerah tujuan wisata, agar lebih dikenal ke mancanegara. Itulah sebabnya banyak event sport tourism internasional, seperti Olimpiade, World Cup, maupun MotoGP yang diperebutkan banyak negara. Dengan menjadi penyelenggara, mereka barharap bisa memperoleh nilai tambah ekonomi sekaligus publikasi. 

1 juta turis ke NTT memang cuma ‘kabar kecil’.
Tapi ia bernilai besar, bukan saja untuk NTT melainkan juga bagi Indonesia. Sebuah negara besar yang ulah para pejabat publiknya kian hari kian menyebalkan dan memuakkan saja.
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)