Ahok bawa sial bagi parpol-parpol pendukung. Bagaimana tidak, gegara mendukungnya di Pilkada DKI 2017, partai-partai yang digdaya di Pemilu 2014 lalu kini menjadi anjlok elektabilitasnya, partai-partai yang sudah kecil menjadi semakin mungil.
‎
Berdasarkan survey exit poll yang dilakukan Pollmark Indonesia, bersamaan dengan pencoblosan Pilkada DKI putaran kedua 19 April 2017, kecuali PSI yang merupakan partai baru, semua partai yang merupakan pengusung dan pendukung Ahok terlihat ditinggalkan pemilihnya di DKI Jakarta, bila dibandingkan dengan data perolehan suara mereka di DKI Jakarta pada Pemilu Legislatif 2014.
Yang terutama, PDI Perjuangan menderita kerugian elektabilitas terparah, turun 10.1% (dari 27,1% ke 16,9%). Simpatisan PDI Perjuangan yang pada 2014 mendukung partai ini karena keberpihakannya yang tegas kepada wong cilik, sebagian berpaling karena ternyata pertainya malah mendukung Ahok si penggusur wong cilik.
‎
Meskipun turun, Moncong Putih masih meraih elektabilitas tertinggi di DKI Jakarta, hanya memang tidak semenjulang saat 2014. Namun bila kasus SKL BLBI yang kini sedang diangkat kembali oleh KPK ternyata terbukti menyentuh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputeri, maka elektabilitas PDI Perjuangan di DKI Jakarta dapat semakin terjun bebas, mungkin hingga 10-12%. Satu-satunya hal positif dari PDI Perjuangan di DKI adalah kesolidannya. Berdasarkan survey Litbang Kompas 19 April 2017, sebanyak 93% pemilih PDIP pro Ahok, hanya 7% yang pro kubu lawan.
‎
Selanjutnya PPP. Partai Ka’bah menderita kerugian elektabilitas terparah kedua setelah PDI Perjuangan, hingga turun sebesar 7,4%, (dari 9,9% ke 2,5%). Sebenarnya konflik dualisme kepemimpinan di tubuh PPP yang berlarut sudah pasti menggerogoti elektabilitas partai Islam Konservatif ini. ‎Namun, dukungan kepada Ahok yang berstatus terdakwa karena menghina Kitab Suci Umat Islam pasti semakin memperburuk situasi internal.
‎
Buktinya, menurut survey yang dilakukan Litbang Kompas pada 19 April 2017 juga, hanya 11% pemilih PPP yang pro Ahok, sebanyak 89% lebih pro ke kubu lawan. Artinya mayoritas massa akar rumput PPP di DKI Jakarta tidak selaras pilihannya dengan selapis elit PPP.
‎
Kemudian Golkar. Partai mantan penguasa Orba ini juga menderita kerugian elektabilitas cukup parah, turun 4,79% (dari 8,29%% Â ke 3,5%). Kasus E-KTP yang kabarnya akan segera menjerat Ketua Umum Golkar Setya Novanto cukup menyumbang bagi turunnya elektabilitas Golkar di 2017.
Meskipun memang secara kasat mata elit Golkar terpecah dalam dukungan di Pilkada DKI. Kubu-kubu partai di bawah JK, Aburizal Bakrie, dan anak-anak Suharto  tampak berada di kubu lawan Ahok. Maka wajar bila berdasarkan survey Litbang Kompas 19 April 2017, hanya sebanyak 60% pemilih Golkar yang pro Ahok, sedangkan 40% pemilih Golkar putuskan melawan Ahok.
Hanura di DKI Jakarta bahkan menderita kerugian elektabilitas lebih parah dari Golkar, anjlok 6,8% (dari 7,8% ke 1%). Ternyata naiknya OSO sebagai Ketua Umum Hanura yang baru tidak dapat mengatrol elektabilitas partai -yang didirikan Menkopolkam Wiranto ini- di DKI Jakarta. Kisruh di pemilihan pimpinan senator/DPD belum lama ini yang tampaknya cukup menggerus citra OSO di hadapan simpatisan Hanura.
Ditetapkannya politisi Hanura di DPR Miryam H sebagai tersangka pada awal April 2017 dalam kasus e-KTP pasti semakin merusak elektabilitas Hanura. Jatuhnya wibawa kepemimpinan pusat Hanura lah yang menyebabkan, berdasar survey Litbang Kompas 19 April 2017, hanya 38% pemilih Hanura yang pro Ahok, sedangkan mayoritas 62% pemilih Hanura menyeberang ke lawan Ahok.
Akibat mendukung Ahok, elektabilitas PKB di DKI Jakarta juga mengalami kerugian sebesar 2,2% (dari 5,7% ke 3,5%). Disinyalir sebagian massa akar rumput kaum Nahdiyin yang juga simpatisan PKB kurang dapat menerima keputusan elit partainya mendukung Ahok.
Dalam pandangan polos mereka, Ahok adalah terdakwa penghina Kitab Suci Al Quran dan juga telah berlaku tidak sopan kepada Rois Aam PBNU Ma’ruf Amin beberapa waktu lalu. Mirip kasus PPP, PKB pun mengalami kerontokan pada basis massanya yang merupakan Islam Kultural. ‎Berdasarkan survey Litbang Kompas 19 April 2017, hanya 29% pemilih PKB yang pro Ahok, sedangkan mayoritas 71% pemilih PKB tidak pro Ahok.
Nasdem adalah partai yang paling sedikit menderita kerugian elektabilitas akibat dukungannya ke Ahok. Partai milik Surya Paloh ini hanya turun 0,4% (dari 4,5% ke 4,1%) di DKI Jakarta. Uniknya, Surya Paloh sempat dikabarkan hampir mencabut dukungannya dari Ahok beberapa waktu lalu saat tensi politik pergerakan Islam (Aksi 411 dan Aksi 212) meninggi, meskipun akhirnya dibatalkannya setelah dinasehati Megawati.
Seperti disiarkan di MetroTV pada petang hari setelah berakhirnya seluruh quick count tanggal 19 April 2017, Ahok terlihat menyatakan penyesalannya, karena di waktu yang lalu telah sok kepada Surya Paloh dan tidak mendengarkan nasehat dari para senior seperti Surya Paloh. Salah satu nasehat Surya kepada Ahok adalah: pejabat publik tidak boleh bicara sembarangan! ‎Berdasar survey Litbang Kompas 19 April 2017, kritisnya sikap Surya Paloh kepada Ahok ini menyebabkan sebagian akar rumput Nasdem, sebanyak 38%, menolak pro Ahok, walaupun mayoritasnya sebanyak 62% pemilih Nasdem masih pro Ahok.
Akibat dukungan pendiri PBB Yusril Ihza Mahendra kepada Ahok sesama putera Belitung, partai keturunan Masyumi ini harus menderita kerugian elektabilitas sangat signifikan (untuk ukurannya yang kecil), turun sebesar 1% (turun dari 1,3% ke 0,3%). PilihanYusril sebagai tokoh sentral PBB kepada Ahok diyakini telah menyebabkan sebagian besar simpatisan PBB yang merupakan kalangan Islam Konservatif kecewa dan akhirnya berpaling dari partainya. Sekjen PBB Ferry Noor diberitakan telah bertemu Ketua Tim Relawan kubu lawan Ahok dan menyatakan dukungannya melawan Ahok.
Maka wajar bila akhirnya akar rumput PBB di DKI Jakarta tidak mengikuti pilihan politik Yusril. Berdasarkan survey Litbang Kompas 19 April 2017, pemilih PBB (yang termasuk kategori “partai lainnyaâ€) hanya 27% yang pro Ahok, sedangkan mayoritas 73% pemilih PBB melawan Ahok. ‎
‎
Badai Suksesi Parpol Pendukung Ahok‎
‎
Dan yang paling lucu adalah: Ahok sampai detik ini berstatus bukan anggota partai politik! Mungkin kita masih ingat pada masa jauh sebelum Pilkada DKI digelar, Ahok dan relawannya bahkan sempat berniat maju melalui jalur independen (non parpol). Jadi partai-partai politik pendukung Ahok telah hancur elektabilitasnya, modal politiknya yang dipupuk sejak 2014.
Sialnya, ini akibat mendukung seseorang yang sejatinya anti parpol seperti Ahok.  Meskipun kerap dicitrakan dukungan parpol-parpol ini tanpa “uang mahar†yang dibayarkan oleh pribadi Ahok, sejatinya adalah para taipan yang menyelesaikan urusan “uang mahar†ini dengan serapih-rapihnya tanpa tercium publik. Jadi demi menyantap uang para taipan, para elit partai pendukung Ahok rela mengkhianati ideologis kerakyatan (PDI Perjuangan dan Hanura) dan mengabaikan tuntunan ajaran Agama Islam (PPP, PKB, PBB) yang dilecehkan Ahok.
Dampak dari situasi politik ini, kehancuran elektabilitas dan berseberangannya akar rumput partai dengan elitnya, adalah akan terjadinya suksesi di beberapa partai besar mantan pendukung Ahok, seperti PDI Perjuangan, PPP, PKB, dan Golkar. Hanura kecil kemungkinan akan terjadi suksesi karena OSO baru saja naik. Nasdem dan PBB juga kecil kemungkinan akan terjadi suksesi karena kuatnya kepemimpinan Surya Paloh dan ketokohan Yusril ihza Mahendra.
PDI Perjuangan kemungkinan besar akan memunculkan Presiden Jokowi sebagai tokoh pemersatu partai, sepeninggal Megawati Sukarnoputeri yang harus disibukkan permasalahan hukumnya terkait SKL BLBI dengan KPK. Hanya bila dipimpin Jokowi saja lah, PDI Perjuangan dapat kembali bangkit pada Pemilu 2019. Tidak ada jalan lain, tidak ada tokoh lain yang sanggup dan dipercaya oleh seluruh kader PDI Perjuangan selain Jokowi.
PPP kemungkinan akan memunculkan sosok yang “terbuang†Haji Lulung sebagai calon kuat ketua umum PPP hasil suksesi nanti. Posisi Haji Lulung yang konsisten berseberangan dengan Ahok telah membangkitkan simpati dan dukungan akar rumput PPP. Gerakan-gerakan kader PPP daerah yang inginkan suksesi dan persatuan sudah bergeliat.
PKB akan cepat mengalami suksesi bila kasus-kasus korupsi yang melibatkan Muhaimin Iskandar dipercepat penuntasannnya oleh KPK. Dua tokoh muda yang diharapkan dapat ambil tongkat estafet kepemimpinan PKB, bila terjadi sesuatu dengan Cak Imin, adalah Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri dan Menpora Imam Nahrowi. Namun bisa juga PKB kembali merangkul para murid Gus Dur, yang saat ini adalah tokoh-tokoh nasional yang disegani publik, untuk masuk dan aktif memimpin PKB.
Golkar masih belum tergambar jelas siapa-siapa saja yang akan muncul dalam suksesi nanti. Saat ini, Golkar sedang dalam titik bersatunya kepentingan dari kubu-kubu terkuat di Golkar (JK, Ical, Cendana, dan LBP) Â untuk turunkan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar. Nanti, pada saatnya dari semua kubu tersebut akan muncul nama-nama calon pengganti Setnov.
‎
Akhir Hoki Ahok
‎
Beredar desas desus, pada waktunya Ahok akan menjadi Dubes di Suriah, atau menjadi Kabulog, atau menjadi Mendagri. Ahok akan masuk, terselamatkan dari pahitnya kekalahan. Yang paling geli adalah bila pada Reshuffle terdekat Ahok masuk sebagai Mendagri. Maka Ahok lah yang akan melantik Anies dan Sandi pada Oktober 2017 nanti sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Artinya meskipun kalah‎ di Pilkada, sebagai Mendagri yang baru Ahok masihlah superior atas Anies dan Sandi. Bila kejadian, maka terulang lagi seluruh aparatur negara harus mengakomodasi kepuasan politik pribadi Ahok. Mirip dengan yang terjadi kepada Ahok saat masih menjabat Gubernur sebelum hasil Pilkada. Saat itu seluruh pejabat dan aparatusnya, dibuat belingsatan oleh ulah, sikap, dan kata-kata Ahok.
Terhitung, kapolri dan kepolisian, panglima dan angkatan bersenjata, BIN, menko maritim, menkopolkam, DPRD dan institusi dewan. Di luar itu ada Majelis Ulama Indonesia dan ratusan ormas Islam yang dinaunginya yang setiap malam doakan dan mimpikan Ahok masuk penjara. Presiden Jokowi pun pastinya setiap hari dipusingkan dengan ulah-ulah Ahok yang tidak perlu tersebut, padahal sangat banyak urusan yang jauh lebih penting yang harus dipikirkan oleh Presiden daripada sekedar pikirkan Ahok.
Jangan sampai waktu dan tenaga Bangsa ini hanya untuk Ahok lagi. Karena itu Presiden Jokowi harus sebijak-bijaknya menyelesaikan urusan Ahok ini. Memasukkan Ahok ke dalam pemerintahan, apakah itu menjadi menteri di Kabinet atau menjadi Dubes, adalah pertaruhan yang sangat mahal. Sama sekali tidak ada jaminan Ahok tidak akan ulangi kesalahan-kesalahan konyolnya saat menjadi menteri atau dubes.
Bila menjadi menteri yang lakukan kesalahan, akan dibully media dan pengamat, didemo dan dihujat. Akhirnya rapat-rapat kabinet hanya akan urusi kesalahan yang dibuat menteri Ahok. Bila Ahok jadi dubes, dan lakukan kesalahan, maka yang terganggu adalah diplomasi antar negara. Jangan sampai Indonesia harus konflik dengan suatu negara hanya karena kesalahan si dubes yang ditempatkan di negara tersebut.
Konyol! Sekali lagi, waktu dan tenaga Bangsa ini habis hanya urusi kekonyolan Ahok. Jangan sampai terjadi lagi.
Namun ada jalan untuk Presiden menolak permintaan Ahok masuk ke pemerintahan. Peradilan atas kasus Ahok dan penghinaan Al Quran harus dilakukan seadil-adilnya. Tidaklah benar bila salah satu unsur dunia peradilan, seperti Kejaksaan Agung misalnya, dapat dikendalikan oleh partai politik tertentu (baca: Nasdem). Bila perlu, demi menjamin peradilan kasus penghinaan Al Quran oleh Ahok dapat memuaskan rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia, Presiden Jokowi dapat saja mengganti Jaksa Agung Prasetyo dengan tokoh-tokoh hukum Indonesia yang jauh lebih kredibel dan berintegritas.
Presiden memang tidak dibenarkan mengintervensi proses peradilan, tapi Presiden dengan kekuatan eksekutifnya yang diamanatkan rakyat dapat bergerak menyelamatkan sistem peradilan Indonesia dari upaya segelintir elit partai politik yang hendak kangkangi hukum. Konstitusi menjamin hak prerogatif Presiden angkat dan berhentikan Jaksa Agung. Hanya putusan penjarakan Ahok sajalah yang dapat puaskan rasa keadilan masyarakat Indonesia.
Hakim pengadilan sebaiknya mawas diri dengan segala resiko dan biaya yang kembali harus ditanggung Bangsa bila kelak putuskan sebaliknya.
Ke depannya, sesial-sialnya Ahok, selepas dari hukuman 1-2 tahun penjara (tanpa hukuman percobaan, karena terdakwa Ahok terbukti dan pasti akan mengulangi penghinaannya terhadap ayat Al Quran) akan masih banyak taipan yang seetnis dengannya yang mau menampung dan menggaji Ahok.
Bukan bicara kosong, Ahok sendiri pernah membocorkannya beberapa waktu lalu di sebuah media online, bahwa sudah perusahaan yang akan mempekrjakannya dengan gaji di atas Rp 200 juta bila gagal jadi Gubernur. Kami rasa status sebagai eksekutif di Grup Podomoro juga tidak buruk, cocok lah dengan Ahok. Kalau hanya menggaji Ahok Rp 200 juta/bulan, masalah kecil saja itu bagi Podomoro. Inilah hoki terakhir Ahok. Karena daripada dikenang dengan julukan gubernur Podomoro, lebih baik sekalian saja Ahok jadi salah satu Direktur Podomoro.
‎Oleh Ibrahim Pasai‎, warga Harmoni
‎
‎