YTH Bapak Luhut Binsar Panjaitan,
Rakyat Indonesia kebanyakan sudah tahu sosok Bapak Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dalam Kabinet Kerja JoJu (Joko Widodo dan Jusuf Kalla) yang selalu bekerja keras dan super aktif dalam tugas. Bapak boleh dibilang dikenal hampir sama dengan Presiden Jokowi, karena nyaris setiap saat dengan gaya bahasa yang khas muncul menghiasi media cetak, elektronik, online, dan sebagainya.
Tak bisa dipungkiri, Bapak dikenal sebagai pejabat yang selalu turun tangan ingin cepat menuntaskan semua permasalahan di kancah nasional. Tapi, di sisi lain disayangkan, karena Bapak terkenal juga suka menerobos pekerjaan yang bukan kewenangan Bapak, sehingga mengabaikan aspek profesionalitas pejabat yang lain. Padahal, ciri profesional adalah bekerja sesuai tupoksi, mematuhi ketentuan dan kewenangan yang telah digariskan, sehingga tidak semua orang bisa campur tangan, apalagi bukan bidang tugasnya. Untuk hal ini, tidak perlu banyak diurai, tapi sekadar contoh faktual, di mana Bapak sering “cross the line” dalam tugas dan kewenangannya. Misalnya, saat menjabat di bidang politik, hukum, dan keamanan, tak sungkan masuk ke ranah ekonomi, dari bidang Kemaritiman masuk ke wilayah keagamaan (MUI) mengurus dampak ulah Ahok, bahkan ikut pula urusan hukum dan politik yang bukan lagi kewenangan dan tak sesuai tupoksi Bapak di pemerintahan.
Rakyat tahu, Bapak punya kemampuan dan kecerdasan, tapi bukan berarti boleh semaunya dilakoni/diborong tanpa melihat bidang tugasnya. Semua jelas ada aturannya, sehingga tidak boleh seseorang “over acting“, seolah tak ada orang lain lagi (one man show). Siapa melakukan apa dalam tupoksi sudah jelas, sehingga akan lucu jika ujug-ujug siapa saja boleh melakukan apa saja, seperti yang dicontohkan Bapak. Kami yakin banyak birokrat yang seperti Bapak, cerdas, profesional, dan punya kemampuan, bahkan bisa melebihi dari Bapak. Tapi, mereka tahu diri, low profile dan fokus pada “core business” yang sesuai tupoksi, sehingga jarang tampil cross the line menjamah area pekerjaan pihak lain. Para profesional justru mengutamakan “kerja, kerja, kerja” sesuai tupoksi dan searah yang digariskan Presiden Jokowi dalam Nawacita. Bukan mengejar pencitraan dan bukan banyak bicara alias NATO (Not Action Talk Only), apalagi mentang-mentang sambil banyak mengancam, tapi banyak bekerja dan bekerja.
Ada lagi yang disayangkan, di mana Bapak kelihatan sekali terlalu menganggap Bapak selalu paling benar, pihak lain salah. Sehingga, selalu memaksakan kebenaran sendiri tanpa melihat fakta sebenarnya. Banyak fakta dan contoh, mulai kasus Ahok yang terbukti bersalah oleh pengadilan yang fair, kemudian reklamasi yang banyak pelanggaran, kemudian gencaran ajaran komunisme dan radikalisme. Semuanya seolah ucapan Bapak yang paling benar. Sangat terlihat sekali, upaya pembenaran Bapak dan kelompok tertentu dengan dukungan media yang memang sudah berada di tangan Bapak dkk. Semua fakta valid dikaburkan, sedangkan fakta invalid digambarkan sebagai kebenaran, sementara Bapak larut di dalamnya.
Renungkan dengan jujur, bagaimana mungkin ekonomi kelompok tertentu/etnis Cina (1,5 persen penduduk Indonesia/3,5 juta orang) menguasai 80 persen ekonomi Indonesia? Perkebunan kelapa sawit 80 persen dikuasai etnis Cina, 100 orang terkaya Indonesia dengan kekayaan Rp1.264 triliun adalah etnis Cina, kemudian nelayan yang tidak bisa punya akses di area sekitar reklamasi dan proses hukum tak adil bagi etnis Cina yang melecehkan orang Indonesia, tapi tetap saja Bapak tak peduli kepada kondisi rakyat Indonesia, tapi justru membela orang lain yang jauh dari keadilan hukum. Saya paling antimempermasalahkan SARA, tapi sangat antikepada penguasa, pejabat, birokrat, dan politisi yang tidak peduli kepada keadilan serta gemar mempermainkan hukum kepada rakyat yang kritis.
Coba cermati data BPS tahun 2016 yang fair itu, jangan selalu bilang ke mana-mana ekonomi kita maju dan baik. Siapa yang merasakan baik? Cuma segelintir orang dan pejabat seperti Bapak saja yang bilang baik. Sementara, mayoritas rakyat masih kesulitan dalam akses menjangkau hidup layak. Pangan, kesehatan, pendidikan, pengangguran, listrik, air, BBM, papan, dan sebagainya masih akrab dengan rakyat kecil, seperti tergambar data BPS 2016 itu. Apakah benar tindakan Bapak selama ini untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara? Rasanya sikap dan tindakan Bapak cenderung untuk kepentingan kelompok tertentu. Misalnya, pencabutan moratorium terhadap 17 pulau bermasalah di Teluk Jakarta pada tanggal 5 Oktober 2017, adalah bukti Bapak memihak pengembang, bukan memihak kepentingan nelayan, buruh, dan rakyat kecil di sekitar area reklamasi. Bahkan, Bapak berani pasang badan sambil mengabaikan putusan PTUN Jakarta (16 Maret 2017) yang memenangkan gugatan nelayan dan aktivis lingkungan hidup. Bapak maju terus melabrak hukum dan keadilan.
Kami yakin, Bapak paham dan mengetahui, bahwa pembangunan reklamasi itu untuk siapa. Untuk poin ini, silakan tanya kepada rakyat kebanyakan dan lihat faktanya, bukan tanya kepada mereka yang sudah duduk manis sudah dapat jabatan dan mendapatkan kue dari penguasa. Mereka sudah pasti “ABS” dan bilang sesuai peraturan dan tidak melanggar UU, karena takut jabatannya dicopot, kecuali Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiatuti yang masih berpikir waras. Memang di negeri ini, masih langka pejabat yang jujur, lalu berani menegakkan hukum dan keadilan serta berpihak kepada kepentingan rakyat. Andai ada, pasti ujungnya di-bully habis-habisan sebagai pesakitan, seperti Novel Baswedan.
Bapak LBP yang dibanggakan,
Bagi kami, menyampaikan uneg-uneg berdasarkan fakta dan kebenaran adalah suatu kebaikan untuk mengingatkan Bapak dan demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, tak ada kata terlambat bagi Bapak untuk menyadari kekeliruannya. Segeralah introspeksi dan kembali ke jalan yang benar demi rakyat, negara, dan bangsa. Ingat ketika disumpah sebagai pejabat negara, harus bertindak adil dan mengutamakan kepentingan rakyat. Lupakanlah menjabat seumur hidup, karena sebentar lagi tentu pasti akan berakhir sesuai hukum alam. Tapi hendaknya “keberakhiran” Bapak menjabat harus berlangsung dengan elegan, terhormat, dan dibanggakan keluarga, rakyat, dan bangsa Indonesia, bukan berakhir hina-dina di mata rakyat dan bangsa Indonesia. Sekali lagi, tidak ada kata terlambat, segeralah sadar diri dan fokus menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan demi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Bukankah, Bapak sudah punya semuanya? Perusahaan Bapak dari yang kecil kelas meubel sampai yang raksasa pertambangan sudah banyak. Mau apa lagi? Ingat “Jas Merah” kata Presiden Soekarno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Bila Bapak terus melakukan pembenaran terhadap yang salah, maka nanti anak-cucu di Indonesia, termasuk anak-cucu Bapak, akan mendapat dampak buruk dari apa yang dikerjakan oleh Bapak sekarang.
Rakyat bukan tidak tahu dan setuju dengan sikap Bapak, tapi karena semua lini sudah dikuasai Bapak dan geng, mulai ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan, dan media. Rakyat, mahasiswa, pemuda, buruh, nelayan, TNI, ulama, santri, pelajar cenderung diam bukan menyiratkan setuju, tapi tak punya kemampuan menandingi kebesaran kekuasaan, kewenangan, dan materi kelompok Bapak yang terkenal bisa membeli dan mengatur apa saja. Kami belum mampu menghadapi kekuatan dan kehebatan kelompok Bapak dkk, tapi kami punya keyakinan, bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah Swt pasti akan senantiasa melindungi pihak yang benar, pihak yang menginginkan keadilan tumbuh subur di bumi nusantara. Kebenaran pasti menang dan kezaliman pasti kalah.
Demikian surat terbuka ini, mohon maaf atas ketidaksopanan yang disampaikan. Semoga Allah Swt senantiasa memberkati rakyat dan bangsa Indonesia. Amin.
Salam rindu kebenaran dan keadilan.
Oleh Birru Ramadhan, Pemerhati Sosial Politik