KedaiPena.Com – Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, menganggap wajar bila puisi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dimaknai sebagai sebuah kritik kepada pemerintah.
“Ya, menurut saya, kan wajar saja, ya memang pemerintah ini pantas untuk dikritik kok,” ujarnya di Jakarta, Kamis (25/5).
Menurut wakil ketua umum DPP Gerindra itu, hal lumrah bila puisi bertajuk “Tapi Bukan Kami Punya” yang dibacakan di sela Rapimnas Golkar di Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (22/5), tersebut dimaknai sebagai pandangan di masyarakat.
“Kalau panglima TNI begitu, ya…berarti menyuarakan apa yang menjadi pandangan di masyarakat juga. Wajar-wajar juga,” tandas Fadli.
Berikut puisi lengkap tersebut:
“Tapi Bukan Kami Punya”
Sungguh Jaka tak mengerti//Mengapa ia dipanggil polisi//Ia datang sejak pagi//Katanya akan diinterogasi.
Dilihatnya Garuda Pancasila//Tertempel di dinding dengan gagah//Terpana dan terdiam si Jaka//Dari mata burung garuda//Ia melihat dirinya//Dari dada burung garuda//Ia melihat desa//Dari kaki burung garuda//Ia melihat kota
Dari kepala burung garuda//Ia melihat Indonesia//Lihatlah hidup di desa//Sangat subur tanahnya//Sangat luas sawahnya//Tapi bukan kami punya.
Lihat padi menguning//Menghiasi bumi sekeliling//Desa yang kaya raya//Tapi bukan kami punya.
Lihatlah hidup di kota//Pasar swalayan tertata//Ramai pasarnya//Tapi bukan kami punya.
Lihatlah aneka barang//Dijual belikan orang//Oh makmurnya//Tapi bukan kami punya.
Jaka terus terpana//Entah mengapa//Menetes air mata//Air mata itu ia yang punya.
Masuklah petinggi polisi//Siapkan lakukan interogasi//Kok Jaka menangis?//Padahal ia tidak bengis?//Jaka pemimpin demonstran//Aksinya picu kerusuhan//Harus didalami lagi dan lagi.
Apakah ia bagian konspirasi?//Apakah ini awal dari makar?//Jangan sampai aksi membesar?//Mengapa pula isu agama//Dijadikan isu bersama?//Mengapa pula ulama?//Menjadi inspirasi mereka?
Dua jam lamanya//Jaka diwawancara//Kini terpana pak polisi//Direnungkannya lagi dan lagi//Terngiang ucapan Jaka//Kami tak punya sawah//Hanya punya kata//Kami tak punya senjata//Hanya punya suara.
Kami tak tamat SMA//Hanya mengerti agama//Tak kenal kami penguasa//Hanya kenal para ulama//Kami tak mengerti//Apa sesungguhnya terjadi//Desa semakin kaya//Tapi semakin banyak saja//Yang bukan kami punya.
Kami hanya kerja//Tapi mengapa semakin susah?//Kami tak boleh diam//Kami harus melawan//Bukan untuk kami//Tapi untuk anak anak kami.
Pulanglah itu si Jaka//Interogasi cukup sudah//Kini petinggi polisi sendiri//Di hatinya ada yang sepi//Dilihatnya itu burung garuda//Menempel di dinding dengan gagah//Dilihatnya sila ke lima//Keadian sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kini menangis itu polisi//Cegugukan tiada henti//Dari mulut burung garuda//Terdengar merdu suara//Lagu Leo kristi yang indah, “Salam dari Desa”.
Terdengar nada: “Katakan padanya padi telah kembang, Tapi bukan kami punya.