KedaiPena.Com – Sejak krisis terbaru Rohingya pecah, akhir Agustus, Penasihat Myanmar, Aung San Suu Kyi, baru sekali berkomentar dan tidak spesifik membahas pengungsian besar-besaran etnis minoritas dari Rakhine ke Bangladesh.
Karenanya, peraih Nobel Perdamaian dan aktivis pendidikan untuk anak-anak, Malala, mengkritik Suu Kyi dan mendorongnya mengambil tindakan konkret dalam mengatasi krisis kemanusiaan di Rakhine dan warga Rohingya.
Belakangan, giliran lima perempuan peraih Nobel Perdamaian yang mendesak pemimpin Suu Kyi, ‘tak berdiam diri’ melihat ‘pembersihan etnik’ di Rakhine.
Kelimanya adalah Mairead Maguire (perain Nobel Perdamaian 1976 asal Irlandia Utara), Joy Williams (1997, Amerika Serikat), Shirin Ebadi (2003, Iran), Leymah Gbowee (2011, Liberia), dan Tawakkol Karman (2011, Yaman).
“Kami sangat terpukul, sedih dan khawatir menyaksikan sikap diam Anda atas kekejaman terhadap minoritas Rohingya,” ujar kelimanya melalui surat terbuka untuk Suu Kyi.
“Mereka dieksekusi, dihilangkan secara paksa, ditahan, diperkosa, dan mengalami serangan seksual lainnya. Desa-desa mereka dibakar, warga sipil diserang yang membuat PBB menyatakannya sebagai pembersihan etnik,” sambungnya.
Mereka menilai, Suu Kyi punya tanggung jawab moral dan personal untuk menegakkan dan mempertahankan hak-hak warga negara.
“Berapa banyak lagi warga Rohingya yang harus tewas, berapa banyak lagi perempuan Rohingya yang diperkosa, berapa banyak lagi komunitas yang dilenyapkan sebelum Anda berbicara?” tanya kelimanya.
“Diamnya Anda tidak sesuai dengan visi demokrasi yang Anda perjuangkan untuk negara Anda dan yang kami dukung selama bertahun-tahun,” imbuh mereka ketus.
Kelimanya pun menukil pernyataan sesama peraih Nobel Perdamaian, Desmond Tutu, yang mengatakan, “Jika harga politis untuk menuju puncak kekuasaan adalah diam, maka harga yang harus dibayar jelas sangat mahal.”
Dalam dua pekan terakhir ratusan ribu warga Rohingya diketahui mengungsi ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri, menyusul aksi membabi buta militer Myanmar terhadap mereka dengan dalih menumpas milisi.
Di sisi lain, Suu Kyi menjadi pemimpin de facto Myanmar setelah partainya memenangi Pemilu 2015.
Sebelumnya, dia memperjuangkan demokrasi di Myanmar dan membuatnya menjalani tahanan rumah selama bertahun-tahun.
Namun, perjuangan Suu Kyi menegakkan demokrasi dan HAM membuatnya diberi hadiah Nobel Perdamaian pada 1991.