SAMPAI saat ini Pelabuhan Tanjung Priok masih menjadi kawasan utama kegiatan bongkar muat barang ekspor maupun impor. Bagi masyarakat DKI Jakarta, keberadaan pelabuhan yang dibangun sejak pemerintahan Hindia Belanda tersebut seringkali dilematis.
Di satu sisi, keberadaannya dibutuhkan sebagai gerbang kegiatan ekonomi nasional. Di sisi lain, padatnya kegiatan di pelabuhan telah menyebabkan tingginya angka kemacetan di sekitar kawasan pelabuhan. Dampaknya, kegiatan masyarakat banyak yang menjadi terganggu.
Kemacetan bukan menjadi satu-satunya persoalan yang mencuat di Pelabuhan Tanjung Priok saat ini. Sengkarut perpanjangan kontrak Hutchison Port Holdings (HPH) di dua terminal petikemas terbesar di Indonesia yaitu PT Jakarta International Container Terminal (JICT) dan Terminal Peti Kemas Koja (TPK Koja) sudah berlangsung hampir lima tahun.
Bahkan meskipun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah mengeluarkan rekomendasi pembatalan perpanjangan kontrak tersebut, PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II)tidak kunjung mematuhinya. DPR beralasan perpanjangan kontrak tersebut melanggar UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran.
Tak sebatas itu, audit investigasi yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dipublikasikan tahun 2018 menyebutkan terdapat kerugian negara sebesar Rp 5,4 Triliun.
Ironis, persoalan tersebut terus berlarut-larut tanpa kepastian. Pemerintahan Presiden Jokowi seolah melakukan pembiaran dan tidak menganggap penting. Padahal, JICT dan TPK Koja berada pada posisi yang sangat strategis untuk kegiatan ekspor impor nasional.
Sampai saat ini, kedua terminal petikemas tersebut menangani 70% kegiatan ekspor impor yang melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Kedua terminal petikemas tersebut menjadi tumpuan kawasan-kawasan industri (hinterland) di Jakarta dan Bodetabek.
Ketidakpedulian Pemerintahan Jokowi terhadap persoalan ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen rezim ini terhadap program Poros Maritim. Bukankah seharusnya infrastruktur sepenting pelabuhan harus mendapat perhatian yang lebih jika program tersebut ingin berhasil. Yang terjadi justeru sebaliknya, sudah 4 tahun persoalan ini berlalu tanpa kepastian.
Tata Ruang
Jika saja pemerintah mengikuti rekomendasi DPR tentang pembatalan perpanjangan kontrak HPH, pengelolaan dua terminal petikemas terbesar di Pelabuhan Tanjung Priok itu bisa lebih optimal. Terlebih lagi 20 tahun masa kerja sama dengan HPH cukup menjadi bekal pengelolaan terminal secara mandiri.
Jika PT Pelabuhan Indonesia III (Pelindo III) saja siap mengelola sepenuhnya PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS) pasca berakhirnya kerja sama dengan Dubai Port, Pelindo II seharusnya bisa melakukan hal yang sama.
Dari aspek tata ruang Provinsi DKI Jakarta, pengelolaan sepenuhnya JICT dan TPK Koja oleh Pelindo II bisa diproyeksikan menjadi pendukung pengembangan kawasan Marunda. Dalam tata ruang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Marunda ditetapkan sebagai lokasi industri dan pergudangan. Dengan demikian, keberadaan keduanya akan saling melengkapi.
Bagi Pemprov DKI, pengelolaan kawasan Marunda bukan hanya sebatas kawasan industri dan pergudangan saja, termasuk juga area pelabuhan di dalamnya. Karena itu, kerja sama dengan Pelindo II dalam pengelolaan kawasan ini tentunya saling menguntungkan. Sebagai kompensasi, Pemprov DKI melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dimilikinya bisa ikut memiliki saham di JICT dan TPK Koja.
Kepemilikan saham di kedua terminal ini bukan demi profit semata, namun sebagai upaya integrative pengembangan kawasan Marunda sebagai salah satu kawasan ekonomi yang memiliki peran strategis bagi pembangunan ekonomi nasional.
Apalagi sejak awal kawasan Marunda memang diarahkan sebagai pusat logistik terintegrasi, yang mencakup aktivitas custom clearance, ekspor-impor, pergudangan, transportasi dan pelayanan pendukung lainnya.
Kolaborasi Pemprov DKI dan Pelindo II akan menjadi pendukung utama Jakarta sebagai kota jasa sekaligus hub logistik nasional dan regional. Ini tidak berlebihan jika melihat potensi hinterland Jawa bagian barat yang merupakan 70% industri Indonesia dan selama ini menjadi pensuplai kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok. Belum lagi potensi trafik petikemas maupun barang curah yang terus meningkat setiap tahun.
Berbagai potensi tersebut membuat kerja sama Pelindo II dan Pemprov DKI dalam pengelolaan JICT, TPK Koja maupun kawasan Marunda sangat integratif dan prospektif. Tentu saja ini bisa terwujud jika pemerintah memiliki ketegasan untuk segera membatalkan perpanjangan kontrak HPH di JICT dan TPK Koja sebagaimana rekomendasi DPR maupun audit BPK.
Oleh Taufiqurrahman, SH, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD DKI Jakarta