JIKAÂ China mengklaim Laut China Selatan sebagai kawasan ‘traditional fishing’, Indonesia bisa juga mengklaim Asia Tenggara sebagai teritori imperium Majapahit, berdasarnya pada kitab Negara Kertagama. Tapi itu tidak dilakukan karena Indonesia menghormati hukum laut internasional yang berdasar pada UNCLOS.
Badan Arbitrase Internasional memutus Tiongkok tidak berhak mengklaim Laut China Selatan berdasar pada ‘nine dash line’. Dan China harus mematuhi putusan arbitrase itu. Jika tidak, tentu potensial memicu ketegangan baru dan stabilitas kawasan.
Sementara di lain pihak MILF melalui sempalannya, Abu Sayaff mencoba melibatkan Indonesia masuk dalam konflik Moro, Filipina. Dan Sulu mencoba klaim Sabah. Terjadi empat kali penculikan yang terjadi di perairan Filipina. Dan ini bukanlah kebetulan.
Untuk merespon kondisi ini, sebaiknya diperhatikan beberapa usul ini. Pertama, pusat pemerintahan didorong ke Palangkaraya, sebagaimana rencana Bung Karno. Sebab, secara geografis wilayah ini lebih di tengah dan lebih dekat dengan negara-nagara di kawasan. Sebagian besar negara di dunia juga berada di utara katulustiwa, lintang utara.
Kedua, memperkuat posisi Indonesia sebagai negara maritim. Di era Majapahit, armada barat berpusat di Palembang, dipimpin Adityawarman. Sementara armada timur berpusat di Surabaya dipimpin Nala.
Dalam konteks saat ini Indonesia telah memiliki armada barat yang berpusat di Jakarta dan armada timur yang berpusat di Surabaya. Perlu disesuaikan dengan menambah armada tengah bisa berpusat di Surabaya atau Makassar plus pangkalan di Nunukan.
Sementara armada barat dikembalikan ke Palembang ditambah pangkalan di Natuna. Armada timur bisa di Ambon atau Sorong plus pangkalan di NTT
Sedangkan di Jawa kita sudah memiliki pangkalan udara seperti Halim Perdanakusumah, Adisucipto, Iswayudi, dan lain-lain.